29 Juli 2011

KEARIFAN PESANTREN

Oleh KH. Imam Jazuli, Lc, MA* Dengan bergulirnya era reformasi, yang selalu mengedepankan elan demokrasi dan kedaulatan rakyat seutuhnya, ternyata membawa dampak kebebasan berekpresi dan berpendapat masyarakat hampir tanpa batas. Hal ini berakibat, salah satunya mencuatnya fenomena kekerasan atas nama agama, misalnya kasus JAI (Jama’ah Ahmadiyah Indonesia) atau militanisme atas nama agama, misalnya terkait terorisme dan NII (Negara Islam Indonesia), juga konflik antar suku, dan kepentingan politik. Yang lebih memprihatinkan dari itu semua adalah, belakangan mencuatnya fenomena alumni pesantren yang berideologi radikalisme tingkat tinggi (menjadi teroris), mereka berafiliatif dengan basis pendidikan Pesantren, seperti Amrozi yang beralumi pesantren Al-Islam di Lamongan dan lain sebagainya. Bagi kelompok garis keras ini, mereka beranggapan bahwa cara kekerasan lebih efektif, dibanding dengan pola pendidikan,yang dinilai terlalu lambat. Berbagai tindakan teror keji yang dilakukan oleh kelompok ini, terutama pada dua dekade terakhir menghidupkan stigma lama yang lama dikumandangkan oleh kalangan fanatik Eropa, yaitu Islam tersebar dibawah naungan pedang. Karenanya stigma yang salah ini harus terus diluruskan. Fenomena radikalisme yang berujung pada aksi kekerasan tersebut, tidak menutup kemungkinan di tahun-tahun mendatang akan terus menjadi ancaman sekaligus tantangan intoleransi agama-agama di negeri yang kita cintai ini. Karenanya, menghadirkan pemahaman keagamaan anti kekerasan dengan segenap nilai-nilai kearifan pendidikan pesantren barangkali sebuah upaya untuk membangun tidak saja kesadaran normatif teologis, tetapi juga kesadaran sosial, di mana kita hidup di tengah masyarakat yang plural dari segi agama, budaya, etnis, dan berbagai keragaman sosial lainnya. Kearifan Pesantren Sebagai Solutif Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang lahir, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia, sehingga lembaga pendidikan ini dianggap sebagai produk budaya asli Indonesia. Pesantren juga merupakan media pendidikan didirikan di Indonesia yang seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia. Jika diyakini Islam masuk di Bumi Nusantara sekitar abad 13 M dan mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan pada abad-abad berikutnya hingga menjadi agama mayoritas. Kesuksesan tersebut tidak bisa dilepaskan dari kecanggihan para penyebar Islam Nusantara dalam mendialektikan agama dan budaya hingga keduanya bertemu untuk saling mengisi. Disinilah peran pesantren sangat siginifikan. Misalnya pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Pada saat itu pesantren serupa dengan padepokan, yang tidak saja digunakan untuk mengaji dalam pengertian an-sich akan tetapi juga dipergunakan sebagai alat kebudayaan, sebagaimana pula yang telah dipraktikkan oleh Sunan Kali Jaga dengan memanfaatkan wayang dan tembang untuk menarik massa agar masuk Islam. Perlu dicatat, Islam yang diajarkan di pesantren dalam bentangan sejarah tidak pernah secuilpun mengajarkan penganutnya berlaku kekerasan, apalagi merugikan dan menghilangkan nyawa orang lain. Bilapun ada doktrin ‘jihad’ maka aturannya sangat ketat. KH Hasyim A’syari misalnya saat memfatwakan resolosi Jihad tanggal 15 Oktober 1945 demi mempertahankan NKRI, beliau selalu mengulang-ngulang fatwahnya agar tidak melukai/membunuh orang kafir-kolonial dalam keadaan tidak melawan/menyerah, juga pada kaum wanita dan anak-anak. Dasar pengambilan keputusan fatwa ini adalah kitab Bujairami ala Fathul Wahab (IV: 251), dan Fathul Qorib; dua kitab yang melekat di pesantren sampai hari ini. Dalam kesempatan lain di pengajiannya, beliau pun sering menuturkan pendapat Al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyfu Al-Mahjub yang menyajikan satu hikayat indah tentang sepuluh orang Darwisy yang tersesat di padang sahara. Bekal yang mereka miliki hanya secangkir air putih. Sembilan orang meninggal karena kehausan, dan tidak ada yang mau meminum air secangkir itu untuk dirinya sendiri, mereka lebih mendahulukan temannya. Akhirnya, hanya seorang Darwisy terakhir yang hidup karena tinggal sendiri dan bisa minum air. Hikayat tentang sepuluh Darwisy ini adalah cerminan perilaku masyarakat pesantren yang penuh cinta-kasih dan mengedepankan kebahagiaan orang lain daripada memenuhi kepentingan dirinya sendiri. Setiap Darwis merelakan nyawanya sendiri melayang demi keselamatan dan kesehatan nyawa orang lain. Dan itulah yang berlaku sampai hari ini di kalangan santri. Mereka tak mau kenyang sendirian, saat temannya yang lain kelaparan. Sehingga alat makan seperti “talam atau nampan” menjadi ciri khas kebersamaan diantara mereka. Dalam tradisi pesantren, doktrin rela mengorbankan segala yang dimiliki demi orang lain, bahkan mengorbankan nyawa sendiri, sangat kuat dan kental, inilah yang disebut futuwwah. Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang contoh pengamal futuwwah. Dia rela nyawanya menjadi jaminan atas seorang tahanan pada masa Umar bin Khattab. Ali bin Abi Thalib juga rela menggantikan tempat tidur Rasulullah SAW pada saat pengepungan yang dilakukan orang-orang Quraisy dalam rangka pembunuhan. Bahkan Ali bin Abi Thalib tidak mau membalas orang yang meludahi mukanya, karena balas dendam itu tidak demi Allah Swt,, Inilah pribadi-pribadi ideal dan tauladan yang menjalankan futuwwah. Terorisme, bom bunuh diri atas nama agama, pengrusakan fasilitas-fasilitas umum, penghancuran tempat-tempat ibadah, dan ragam kekerasan lainnya tidak akan pernah terjadi apabila futuwwah dan nilai-nilai kearifan pendidikan pesantren lainnya tertanam kuat dalam mind set umat muslim di Indonesia. Karenanya, karakter pendidikan pesantren dengan wajah aslinya yang ramah dan akomodatif harus sering ditampilkan di negeri ini dalam menghadapi laju perkembangan zaman dan berbagai kemelut permasalahan yang melilit negeri ini, sehingga pada gilirannya hal tersebut mampu menumbuhkan harapan bagi masyarakat pada umumnya, bahwa pesantren dapat dijadikan sebagai lembaga pendidikan alternatif pada saat ini dan masa depan. * Wakil Ketua PP RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah -Asosiasi Pondok Pesantren se Indoonesia) PBNU.

Tidak ada komentar: