27 Agustus 2010

GUSDURIAN

ADA APA DENGAN GUS DUR
Seperti Gus Dur, sesungguhnya kita semua ini juga tengah berjalan untuk menjemput sebuah kepastian. Yah, menjemput kepastian. Karena sesuatu yang pasti dari hidup, sesungguhnya hanyalah kematian. Yang lain? Terbulen, random, tentatif, unpredictable, ... Lihat Selengkapnyatak pasti. Tak tentu. Bahkan sebelumnyapun kematian Mabh Surip juga telah mengajarkan, bahwa karier, kesuksesan, kekayaan, popularitas, kesenangan, keluarga, anak, istri, pacar hanyalah kesementaraan, hanyalah ketidakpastian. Yah, karena kepastian hidup adalah kematian. Dan seperti halnya dengan Gus Dur, kita tengah menuju kesana. Seperti Gus Dur, memang ada sebagian orang yang karena kasih sayang “Sang Pemilik Kepastian” tahu (atau paling tidak diberi tanda), kapan kepastian itu akan datang. Tapi sebagian besar dari kita tentu saja tidak tahu. Hidup dengan demikian sesungguhnya adalah gerak, bagi upaya kita untuk menjawab misteri dari jeda ketidaktahuan itu. Dan kadang-kadang warna dari “gerak” tadi baru kita pahami setelah kepastian itu datang. Seperti halnya ketidakpahaman kebanyakan dari kita terhadap segala “gerak” Gus Dur selama ini. Jawaban itu datang saat sang pemilik teka-teki, sang pemilik kontroversi itu dijemput oleh kepastiannya. Sinisme apa lagi yang hendak kita timpukkan? Kritik apalagi yang hendak kita lemparkan? Kecurigaan apalagi yang hendak kita sambitkan? Ketidakpercayaan apalagi yang hendak kita hantamkan? Dan lebih dari semua itu, jawaban apalagi yang kita inginkan dari seorang Gus Dur? Jutaan orang tersentak, terpana, tak percaya, haru biru, ledak tangis, cucuran air mata. Gelegar tahlil, tahmid, takbir, sholawat. Gemericik deras puja-puji, bendera setengah tiang, segala kalaidoskop kenangan dibuka lembar demi lembar. Segala gelar disematkan, Guru Bangsa, Bapak Pluralis, Bapak Kaum Minoritas, Pahlawan Nasional dan lain-lain dan lain-lain. Gumaman hingga teriakan do’a, dari seluruh lapisan. Dari wong cilik yang secilik-ciliknya hingga orang besar yang sebesar-besarnya. Semua agama, semua suku bangsa, semua negara. Dari para pemuja hingga para musuh. Dari orang yang selalu melayaninya dengan takzim hingga dari orang-orang yang selalu berusaha mencari kelemahannya dan selalu berusaha menyingkirkannya. Di hari kepastiannya, orang yang selalu mengupayakan kejatuhan Gus Dur pun coba tampil paling depan sebagai orang yang paling dekat dan paling memahami Gus Dur. Lantas jawaban apalagi yang kita inginkan dari seorang Gus Dur? Tentu saja ada. Barangkali jawaban terpenting yang harus kita dapatkan adalah kala saatnya kepastian itu kelak menjemput kita. Siapa kiranya yang akan tersentak? Adakah orang yang merasa kehilangan, menangis, mengenang pikiran dan perbuatan kita? Adakah orang yang mengirimkan doa? Jangan-jangan tak ada satu orangpun yang akan merasa kehilangan, atau bahkan merasa bersyukur dengan kematian kita. Jangan-jangan tak satupun yang mengirimkan doa, atau bahkan mengirimkan hujatan. Jangan-jangan hanya keluarga kita. Itupun setahun sekali, seperti kebanyakan dari kita. Atau bahkan tidak sama sekali, meski dari istri/suami, handai taulan, anak cucu keturunan kita. Duh, betapa sepi dan menderitanya alam kepastian kita. Kita sendiri tak punya teman untuk diajak (ilmu yang bermanfaat, amal ibadah). Sedang dari yang hiduppun tak ada yang mengirimkan seorang utusan untuk menemani derita kepastian kita (doa anak sholeh, kerabat, handai taulan, sahabat). Sesungguhnya sebagian besar dari kita, berjalan menjemput kepastian, tanpa bekal apapun (bahkan berhutang). Yah, sebagian besar dari kita menjemput kepastian dengan tanpa kepastian sama sekali. Ada apa dengan Gus Dur? Ada apa pula dengan kita sendiri? “Gerak” kita menjemput kepastian adalah Thowaf. Thowaf hati, pikiran, ucapan dan perbuatan. Thowaf orbitasi, seperti bumi yang berputar di garis porosnya. Thowaf semesta, seperti bumi yang menjelajah galaksi mengelilingi matahari. Thowaf kitalah yang akan menentukan, apakah kita akan bisa sampai padang arafah atau tidak. Menjadi ma’ruf atau tidak. Seperti kematian Gus Dur yang dengan sendirinya telah memberikan jawabnya. Seperti yang sudah banyak juga disampaikan oleh berbagai fatwa, ‘kebaikan dan kebenaran’ acapkali terjawab, saat “kepastian”datang menjemput. Bagaimana mungkin kita berharap doa orang lain, jika kita tak pernah mendoakan orang lain. Bagaimana kita berharap bisa mengetuk hati orang lain, jika kita tak pernah bisa menjaga hati kita terhadap orang lain. Dipenghujung tahun ini, rasanya tak berlebihan jika kita merenung sekejap. Merenungkan thowaf kita selama ini. Apa, bagaimana, dan untuk siapa sesungguhnya “gerak’ hati, pikiran ucapan dan perbuatan kita selama ini? Jika kita berhasil menemukan jawabnya. Maka, seperti Gus Dur, kita akan menjemput kepastian dengan “pasti”. Semoga. Maka, maafkan atas segala kekhilafan, kesalahan, kesewenangwenangan, ketidakmengertian, kebodohan, keculasan, kebohongan saya yang telah, yang tengah dan yang mungkin akan saya perbuat pada Anda semua. Terutama sekali sepanjang tahun 2009 ini. Selamat tahun baru 2010. semoga kita bisa memperbaiki “kepastian’ kita dalam menjemput kepastian. Amin.

Tidak ada komentar: