27 Agustus 2010

GUSDURIAN

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (1)

Gus Dur dan saya pada Idul Fitri th 2008 di nDalem Ciganjur
Suatu ketika GD mengajak saya ke Ponpes Genggong, Probolinggo, tempatnya Gus Mutawakkil 'Alallah (sekarang ketua PW NU Jatim). Waktu itu sekitar th 90an akhir dan saya belum banyak gaul dengan para anggota IGGI (Ikatan Gus Gus Indonesia). Karena GD harus jalan ke beberapa ponpes jadi saya diminta tinggal di Genggong, karena besuknya ikut acara di sana. Sebelum pergi GD bilang pada Gus Mutawakkil, "Gus saya titip Hikam ya..". Gus Mutawakil jawab cepat-cepat :" Inggih Gus.."
Besuknya, pagi-pagi Gus Mutawakkil bolak-balik naik turun tangga rumah (2 lantai) sambil sibuk mencari-cari sesuatu. Orang-orang, termasuk para Kyai, pada ikut sibuk tapi tidak tahu apa yang dicari si Gus. Akhirnya ada satu (Gus Nukman) yang bertanya: "Apa sih Gus yang sampean cari, kok repot banget?"
Kata Gus Mutawakkil: "Wah, saya ini ketiwasan, dititipi Gus Dur Kitab Hikam kok saya kemarin nggak tanya dulu diletakkan dimana sama Gus Dur. Nanti bisa di dukani (dimarahi) sama beliau."
Kata Gus Nukman: "Wah, njenengan ini gimana. Maksudnya Gus Dur titip Hikam kemarin ya Gus Hikam ini...(sambil nunjuk saya yang lagi tiduran di karpet)."
Gus Mutawakkil: "Masya Allah.... Tak kira kitab Hikam karangan Ibnu Atho'illah as Sakandari..!!!

Gerrr.... Semua kyai yang ngumpul tertawa semua.
Gus Dur sendiri paling seneng mengulang cerita "hilangnya Hikam" di Genggong.

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (2)

Istri saya, Wien, dg Bu Sinta Nuriyah Wahid
Gus Dur adalah sosok yang tak pernah gagal melihat aspek humor dalam segala hal. Dalam situasi yang bagi orang lain sangat serius dan resmi pun beliau bisa menemukan dan mengemukakan hal-hal yang lucu, tapi sangat filosofis kalu mau memikirkannya. Contohnya ini:

Sewaktu saya memohon beliau sebagai Presiden RI untuk memberikan pidato dalam rangka Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) Th 2000 di lapangan Sabuga ITB, beliau bercerita di depan khalayak yang banyak sekali di antaranya pasti orang-orang "serius" dan pinter-pinter," wong namanya juga para saintis, peneliti, Profesor, dll. Kata GD, syahdan ada seorang anak petani yang, ndilalah kersane Gusti Allah, kok bisa dapat beasiswa ke Jerman dan berhasil sampai meraih gelar Doktor di bidang bioteknologi. Sewaktu pulang kampung dia cerita kepada sang ayah yang tani kluthuk tentang betapa hebatnya kemampuan sains dan teknologi di negara yang namanya Jerman itu.
"Wah Pake, di sana itu sudah bisa dibuat mesin yang ngedap-edapi. Seekor sapi masuk mesin itu di pintu depan, di belakang sudah jadi corned beef, itu daging cincang yang di kalengin, siap masuk toko!" kata si anak dengan sumringah dan bangga. Sang ayah tenang-tenang saja sambil bilang,"Alah nak, kalau cuma begitu aja ngapain kamu sekolah sampai Jerman. Di rumahmu ini saja sudah jauh lebih canggih!" Si anak yang Doktor biotek tentu rada kesel sama si bapak, katanya: "Ah, njenengan ini bisa aja Pak. Emang ada kemampuan apa di sini yang bisa menyamai Jerman?". Kata sang ayah:" Lho Bapakmu dan simbokmu ini, makan macem-macem, mulai dari kangkung, telo, nasi, ikan, tempe, dan seterusnya. Lha setelah itu, keluar kamu!. Apa gak lebih hebat dari mesin Jermanmu tadi?"

Gerrrr.... Tersipu-sipulah seluruh hadirin di lapangan Sabuga. Kata GD, itulah kalau para saintis kurang berkomunikasi dengan rakyat...

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (3)

Saya dan mBah Maridjan, teman GD juga..
Siapa bilang Gus Dur gak bisa salah paham? Namanya manusia biasa, pasti satu saat hal itu terjadi. Bedanya, kalau umumnya orang salah paham terus marah atau jengkel dan menjengkelkan, kalau GD malah jadi lucu. Ini informasi A-1 karena yang cerita ya GD sendiri sama saya (sambil dipijet kakinya di Gedung PB NU yang waktu itu masih reyot):

Pada masa akhir zamannya Pak Harto, para cendekiawan kritis banyak yang dilarang bicara, termasuk dan terutama adalah GD (yang waktu itu sudah jadi ikon gerakan pro-demokrasi). Nah, suatu hari beliau diundang ke Jember oleh anak-anak GMNI yang disponsori mas Bondan Gunawan. Sudah barang pasti para aparat keamanan di deploy untuk membuat acara gagal, atau, minimum, kurang lancar. Toh acara tetap jalan dan ceramahnya GD didengar banyak aktivis GMNI dan lain-lain. Begitu selesai, GD diminta panitia cepat-cepat meninggalkan arena karena, konon, Polisi akan masuk dan membubarkan acara. GD dan teman-teman se mobil langsung aja kabur dari lokasi menuju Surabaya.

Masih di dalam kota, mobil GD sudah dibuntuti dua motor gedhe putih milik Polri, walaupun tidak membunyikan nguing-2 (sirine). GD dilapori sopirnya dan beliau minta supaya jalan saja, kalau perlu ngebut! Maka ngebutlah si sopir dan Polisi yang ngebuntutin juga ngebut di belakang. Sampai di luar kota, dua motor Polisi tadi nyalip dan setelah rada jauh, behenti di tengah jalan. Sontak sopir GD juga mengerem mobil, karena khawatir terjadi kecelakaan kalau nabrak. GD marah besar dan buka kaca jendela menunggu kedua "oknum" Polri mendatangi beliau.

"Ada apa?!" GD bertanya dengan suara agak tinggi.
"Assalamu'alaikum Kyai..."kata salah satu dari "oknum" Polisi
" Ya! ini ada apa, kan saya sudah pergi. Sana pergi kalian..." GD mencoba mencegah mereka makin dekat
"Begini Kyai.." kata si oknum sampai di kaca jendela (sopir dan dua penumpang di belakang sudah khawatir banget..)
"Begini Kyai, mohon maaf, saya tadi belum sempat salaman sama njenengan, jadi terpaksa saya mengikuti Kyai. Tolong Kyai saya ingin salaman" kata si "oknum" dan keduanya lalu salaman dan cium tangan GD..
"Matur nuwun Kyai, selamat jalan ya.."

Dua polisi tadi cengengesan puas karena "sukses" bisa salaman dg GD!
Tentu saja GD langsung ketawa ngakak begitu mobil jalan lagi, ujarnya (sama saya):

"Ngono kuwi lo, Kang wong NU. Sudah repot-repot disuruh menjaga supaya ceramah saya tidak sukses, eee... ujung-ujungnya pengen salaman..!"

Jadi GD pun bisa salah paham dan mengakhiri dengan ketawa. Memang waktu itu aparat keamanan (intel, tentara, polisi, hansip, satpam dll) suka dikerahkan utk menghalangi beliau. Tapi dasarnya orang NU, kalau tugas sudah selesai, ya cium tangan GD juga. Tugas terlaksana, kepuasan batin tercapai.

Gitu aja kok repot!!

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (4)
REQUIEM

Senja makin kelam saat kita bercakap
Bulan susu dan kelelawar berdekap
Kita susuri seluruh rerawa dan gili-gili
Gigir perbukitan dan hutan-hutan sunyi

Kau tampak siap
Mengucap selamat malam
Tanpa duka hanya harap
Bisa sampai pesta berakhir diam

(Bulan susu merangkak di gigir bukit, lelawa mencicit
kabarkan datangnya dingin malam)

Kuingat tawamu di akhir percakapan
Kau sebut drama Milan Kundera
"The unbearable lightness of being,"
Juga pertemuanmu dengan Vaclav Havel
Dua jiwa abadi mengukuhkan cita suci

Aku masih termangu ketika doa menggapai langit
Tidurmu seperti biasa
Tanpa ada duka membersit
Hanya kepasrahan nan bahagia

(Hujan tiba-tiba menderas, air mata para pendoa
sementara kesunyian malam jadi tiada)


Pamulang-Ciganjur 30 Desember, 2009

KENANGANKU DENGAN GUS DUR ( A SIDE STORY OF HALIDA HIKAM)

Gus Dur, my dad and me (2008)
I'm a little ashamed to say this, but though I've known Gus Dur practically my whole life, my memories of him are a little blurry compared to memories of other people.

My earliest memory that contains him is when I was six. I distinctly remember Gus Dur visiting my house when we still live in Tangerang. What really stood out to me, from this memory, was the fact that Gus Dur sat on my living room floor.

That's right, I said "floor". We didn't have a couch in our living room back then. Not because we can't afford it, but because I, with the wisdom of a six year old, felt that it was unnecessary to have a couch. "It made playing tak jongkok hard" was my rationality.

But Gus Dur, though he was already a public figure and a very well respected one at that didn't mind in the least that he had to sit cross-legged on the floor. I didn't register anything wrong with it thirteen years ago, but now I can't help but think what a simple yet wonderful man he was.

Now, fast forward to twelve years later. I was eighteen years old and was preparing for my first year in College. My father took me and my mother to PBNU to visit Gus Dur. After a long wait in the non-existent line, we finally got to meet with him. Again, I was surprised to see Gus Dur lounging on the carpeted floor of his office in a pair of shorts and a worn but comfortable. This scene just makes him seem so human.

My father gave him a present: Barack Obama's "The Audacity of Hope" in Audiobook. Gus Dur seemed to love his gift. Afterward, they talked politics, as was expected. Then towards the end of our visit, Dad informed Gus Dur that I was planning on continuing my education in the US. He then asked for Gus Dur to give me his blessings and told him what I was planning to study.

I told Gus Dur that I was planning on studying Chemical Engineering with a minor in History. Gus Dur nodded, an unorthodox reaction to the weird combination of my field of studies. What happened next was amazingly weird. Gus Dur started to talk to me about the seize of Yogyakarta, the abduction at Rengasdengklok and I couldn't say anything, except nod.

Later on, I realized that Gus Dur mistook what I said about minoring in History. I intend on minoring in US History not Indonesian History. But oh well, to err is human, right!?

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (5)
Salah satu faktor yang membuat Gus Dur dan Mbak Mega bisa akrab (terutama sebelum Reformasi) adalah "vitamin K". Ini bukan vitamin biasa yang kita kenal, tapi K ini singkatan dari "KUBURAN", artinya kedua beliau itu memang punya hobi ziarah kubur, termasuk ke maqbaroh (makam-makam) para Wali, orang tua, serta para sesepuh yang memiliki pengaruh di masyarakat. Saya sendiri, sebagai orang yang lahir di lingkungan pesantren, tentu sudah sejak kecil diajari dan dididik untuk menhormati para sesepuh dan auliya yang sudah kapundhut. Toh dalam perkara yang satu ini masih kalah jauh dari Gus Dur dan mBak Mega, sehingga pengen ikut kalau mereka sedang ziarah berdua. Siiapa tahu kalau sering ikut nanti bisa lebih menghayati komunikasi antara kita dengan mereka yang sudah di alam sana sambil mendapat barokah.

Salah satu tempat yang kedua beliau suka kunjungi adalah Istana Batutulis di Bogor, tempat almarhum BK tinggal sampai wafat. Kalau sudah di sana, biasanya tengah malam, kedua beliau sangat khusyuk dan melakukan doa sampai satu atu dua jam. Saya beberapa kali ikut bersama Haji Sulaiman dan Pak Ghofar Rachman yang dua-duanya juga termasuk pakar dan penggemar berat vitamin K seperti GD. Ziarah di Batutulis yang paling saya kenang adalah yang ke tiga, kalau saya tak salah, sekitar tahun 1997 atau 1998. Kenapa saya paling ingat, karena di situlah saya menyadari bahwa peringkat saya masih rendah sekali dalam bidang yang satu ini. Ceritanya begini:

Seperti biasa, kami beberapa orang (GD, mBak Mega, Pak Ghofar, H. Sulaeman, dan pendherek mBak Mega) datang ke Batutulis, tengah malam. Namun tak seperti biasanya, malam itu doan GD dan mBak Mega lama banget di kamar alm BK. Kebiasaannya, ketika sedang di dalam kamar di mana BK dulu dirawat, semua lampu harus mati sehingga suasana sangat tenang, hanya gemericik air sungai di bawah sana yang memevah keheningan malam. Doa yang diwirid oleh kami tentu dilakukan dengan sangat khusyuk dan pelan, dipimpin Pak Ghofar. Setelah itu, masing masing bertafakur dan berdoa sendiri-sendiri secukupnya.

Nah, malam itu tidak biasanya tafakur GD dan mBak Mega lama banget, lebih dari setengah jam. Sehingga waktu kedua beliau selesai, jam sudah menunjuk 2.00 dinihari. Kami semua lantas duduk-duduk di teras di luar kamar BK. Mbak Mega tiba-tiba bertanya pada saya:

"Gimana, Hikam, seneng kan kalau kita ziarah, berdoa dalam suasana yang hening dan tenang seperti sekarang?"

Saya jawab: "Ya kalau Gus Dur dan mBak Mega pasti senang.."

"Lho kalau kamu?" Tanya Bak Mega, heran.

"Saya terus terang sambil takut mBak, wong gelap dan sepi gini..." Kata saya, jujur.

Kontan Gus Dur tertawa terpingkal-pingkal memecah dingin dan sepinya dini hari di Batutulis.

"Gini ini lho mBak kalau orang sekolah di Amrik kelamaan, hehehe...." Kata GD sambil terus ngakak.

MBak Mega langsung nyablek saya sambil menegur: "Kamu ini piye toh Hikam, orang NU kok takut ziarah tengah malam.." (tapi beliau lalu ikut tertawa bersama H. Sulaiman, Pak Ghofar dan pendherek beliau).

Saya sendiri waktu itu gak bisa tertawa, wong memang nyatanya saya rada takut (mana kemudian hujan rintik-rintik lagi!). Tapi dari pengalaman yang sekali ini sudah jelas bahwa kapasitas saya dalam urusan vitamin K cuma standar-standar saja. Walaupun masih sering ikut GD ziarah kesana kemari(dengan atau tanpa mBak Mega), tapi saya harus mengakui bahwa saya masih terlalu jauh "maqom"nya dari kedua beliau ini dalam soal-soal spritual.

Semoga dengan bertambahnya usia dan kematangan jiwa saya nanti juga bisa merasakan nikmatnya vitamin K seperti kedua beliau dan para masyayikh ..... Amin.

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (6)
Mungkin sudah banyak ditulis orang kritik Gus Dur terhadap over formalisme keberagamaan sehingga melupakan substansi agama yang menurut beliau kurang diperhatikan (khususnya dalam konteks Indoneisa), yaitu bahwa beragama (apapun) mestinya membuat YANG LAIN merasa enak, aman, kalau perlu malah terlindungi. Kecenderungan formalisme agama sebetulnya juga merupakan akibat dari sebuah proses sosial yang mengakibatkan terjadinya keterasingan (alienation) bagi sebagian orang yang merasa tak tertampung. Dalam hal ini, proses modernisasi dan fenomen modernitas yang secara gegap gempita mendera masyarakat yang sedang berkembang dan dunia ketiga, pada gilrannya membawa dampak sosial berupa, antara lain, alienasi tadi. Ujung-ujungnya banyak anggota masyarakat yang mencari pelarian, tempat meneduh dan mencari kepastian baru misalnya rame-rame kembali ke msitik atau kembali ke ajaran agama. Di Barat, fenomena "born again Christians" juga menggejala di penghujung abad ke 20. Di Indonesia, fenomena formalisasi keberagamaan menjadi salah satu penampilan nyata manakala alienasi menjangkiti relung batin masyarakat yang sedang beralih menuju masyarakat modern industrial.

Sayangnya, sebagaimana yang berlaku dalam setiap hal yang berlebihan, maka formalisme beragama juga bisa berdampak negatif bagi kehidupan bermasyarakat, apalagi dalam konteks masyarakat yang plural atau majemuk seperti di negeri ini. Formalisme menampilkan wajah yang kurang ramah karena menganggap pihak yang tidak mempraktekkannya seolah "kurang": kurang Islami, kurang relijius, kurang bertakwa, dsb. Padahal yang dipakai ukuran hanyalah simbol-simbol dan penanda-penanda luar: jilbab, ikut tour umroh berkali-kali, haji berkali-kali, piara jenggot, berbaju mirip orang Timur Tengah, dll. Inilah yang lantas menciptakan akibat berikutnya: alih-alih kehidupan beragama menjadi solusi bagi alienasi, justru ia menjadi pemicu kegerahan dan keterbelahan sosial (social cleavages). Gus Dur melihat fenomen ini sebagai perkembangan kurang sehat bukan saja dalam konteks beragama, tetapi juga dalam bermasyarakat. Karenanya beliau sangat konsisten melakukan kritik tajam terhadap fenomena ini dengan segala bentuknya, termasuk satire terhadap para tokoh agama yang dianggapnya terlalu simplistik dan egois dalam beragama. Salah satu guyonan beliau adalah ini:

Di pintu surga sedang terjadi perdebatan rame dan bertele-tele anatara tiga orang pemimpin agama gara-gara Malaikat penjaga pintu tidak mengizinkan mereka masuk. Pasalnya, mereka merasa paling berhak masuk lebih dulu karena posisinya sebagai Imam, Pendeta, dan Bhiksu. Malaikat penjaga sorga tampaknya tidak mau memutuskan siapa yang boleh masuk duluan sebelum clear dan karenanya membiarkan ketiganya berdebat. Tiba-tiba menyelononglah seorang yang compang camping dan tidak terlalu gagah mendekati pintu surga untuk minta masuk. Malaikat mengecek sebentar buku daftarnya, lalu mempersilahkan orang tersebut masuk, tanpa ba atau bu. Kontan saja ke tiga pemimipin agama tadi berhenti berdebat dan menyatukan tekad untuk protes terhadap sang Malaikat. Maka ditunjuklah si Imam untuk menjadi jubir dan menanyai Malaikat:

Jubir: "Pak Malaikat, itu tadi siapa kok langsung nyelonong masuk sorga?"

Malaikat : "Itu si Hotpintor Sinaga, orang Toba."

Jubir : "Emang dia kelebihannya apa dibanding kita kok gak ditanya?"

Malaikat : "Dia sopir mikrolet jurusan Senen-Cakung."

Jubir : "Lho, lha kita bertiga pemimipn agama!"

Malaikat :" Ya tapi Hotpintor tukang mabuk."

Jubir (dan kedua temannya bingung) : "Gimana sih, Kat! Kan jelas kita lebih berhak duluan dari sopir pemabuk itu. Malahan mestinya dia masuk ke tempat lain, bukan di sini!"

Malaikat : "Ah sampeyan ini bertiga ini gimana. Justru karena si Hot tadi sering mabok waktu nyopir, para penumpang mikroletnya selalu takzim berdoa kepada Gusti Allah supaya gak kecelakaan. Sampean bertiga sebaliknya. Kalau khotbah bikin jemaat bosen dan ngantuk semua, boro-boro khidmat dan berdoa sama Gusti Allah. Sampen bertiga malah bikin jemaat makin lama makin berkurang jumlahnya... Coba sampeyan pikir mana yang lebih disukai Gusti Allah. Lihat ini ada catatan khusus: Hotpintor langsung masuk!"

Beragama bukanlah untuk pencarian keselamatan pribadi belaka, tetapi juga mesti bisa bermanfaat bagi orang lain. Beragama mestinya bukan cuma gagah-gagahan di luaran (formalisme), tetai juga membuat Tuhan tersenyum karena ummat manusia ikut bahagia. Hotpintor bukan pemuka agama, tetapi tanpa dia polas-poles, sesungguhnya cara dia beragama malah lebih "genuine."
KENANGAN SAYA DENGAN GUS DUR (7)
Dalam acara di TV One semalam (4/01/2010), saya ditanya oleh host apakah para tokoh pendukung Forum Demokrasi (Fordem) telah memperkirakan bahwa GD akan menjadi Presiden RI pada waktu gerakan tersebut didirikan dan berkiprah? Saya hanya bisa menjawab secara umum bahwa pada hakekatnya semua yang berada dalam Fordem menganggap GD adalah tokoh paling pantas untuk memimpin sebuah Indonesia yang demokratis, melindungi HAM warganegaranya, dan mengupayakan kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Saya tidak mengatakan sebagai Presiiden per-se, tetapi sebagai pemimpin karena tentu posisi Presiden buat GD waktu itu (1994/5) masih jauh dari perkiraan sebagaian tokoh Fordem.

Tetapi, sebenarnya kalau soal memperkirakan GD akan tampil sebagai Presiden pada tahun 1994 itu, saya justru mendengar sendiri bersama GD dari mulut salah satu Professor saya di Universitas Hawaii, yaitu Professor Manfred Henningsen. Manfred, begitu panggilan akrab beliau dari para mahasiswanya termasuk saya, tentu sangat jauh dari berkepentingan dengan GD sebagai Presiden RI. Bukan saja beliau baru bertemu seumur-umur pada malam itu, bidang yang digeluti beliau secara akademis juga tidak ada urusannya dengan politik Indonesia. Beliau adalah pakar filsafat politik Barat, khususnya tentang politik eksterminasi, gerakan pro demokrasi, dan filsafat politik Yunani. Namun demikian, tahun-tahun awal 1990an adalah musimnya gerakan pro demokrasi yang diawali dengan runtuhnya tembok Berlin 1989 dan maraknya gerakan civil society di Eropa Timur, Asia, dan Amerika Latin. Karena saya adalah salah satu mahasiswa beliau yang sangat getol mengkaji masalah civil society dan gerakan pro demokrasi di Indonesia, mau tidak mau beliau juga mengikuti perkembangan yang terjadi di negeri kita. Apalagi beliau adalah ketua komisi dissertasi saya, di samping ketua grup diskusi di mana saya jadi anggotanya. Tak pelak, Prof. Henningsen hampir tiap hari mendengar omongan dan atau kabar tentang Indonesia yang saat itu juga sedang mulai bergejolak dengan wacana dan gerakan-gerakan mendobrak rezim Orde Baru. Nama tokoh seperti GD tentu juga beliau tahu, sama dengan nama Kim De Yung, Lech Walesa, dan Vaclav Havel (dengan yang disebut terakhir ini, Prof. Henningsen kenal secara pribadi).

Dari informasi yang diperoleh dari saya dan media massa, Professor asal Jerman ini menyimpulkan bahwa GD memiliki kemiripan yang sangat banyak dengan Vaclav Havel (belakangan GD memang akrab juga dengan Presiden Ceko tersebut). Bagi Manfred, Havel dan GD adalah saudara seperjuangan dalam menegakkan demokrasi melalui advokasi HAM dan pluralisme serta pemberdayaan civil society. Dan saya juga ikut percaya karena bacaan saya terhadap karya-karya Havel dan tokoh-tokoh prodemokrasi di Cekoslowakia, Polandia, Rumania, dll. memang seperti itu. Bukan kebetulan, bahkan, kalau statemen Fordem yang dibacakan pada launchingnya di Megamendung, memuat kata-kata dan kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh Forum 77 (Forum yang didirikan oleh Havel, dkk). Juga bukan kebetulan kalau GD mempopulerkan istilah yang dilontarkan oleh Havel dkk tentang upaya rezim Totaliter yang mencoba melakukan perubahan dengan nama "demokrasi seolah-olah' ( an "as if democracy").

Tapi saya sangat terkejut ketika malam itu, di sebuah restoran Vietnam sederhana, Prof Henningsen bilang pada Gus Dur, yang duduk persis didepannya sambil minum kopi Vietnam : "Mr. Wahid, you will be the President of your country." (Pak Wahid, sampeyan akan jadi presiden negara sampeyan). Di sebelah Manfred ada Neil Abercrombie, sohib kentalnya (sekarang beliau anggota Congress AS mewakili negara bagian Hawaii dari Partai Demokrat). Neil, begitu panggilannya, mengangguk setuju karena telah mengenal kiprah GD dari saya dan Manfred juga. Waktu itu Neil masih sebagai aktifis plitik di Hawaii dan baru beberapa tahun lulus dari Universitas Hawaii, PhD dalam ilmu politik.

Reaksi saya dan GD hampir sama seingat saya, yaitu tertawa terbahak-bahak. GD lalu mengatakan terimakasih atas komplimen Manfred, dan minta dukungannya semoga perjuangan demokratisasi di Indonesia terus berjalan. Saya sendiri bilang "Manfred, you must be joking. Suharto and the generals are still quite strong." (Manfred, sampeyan pasti becanda aja, wong Pak Harto dan para Jenderal sangat kuat).

Tapi apa kata Prof. Henningsen menjawab saya?

"No, no, no. Mohammed. I couldn't be more serious than that." Kata beliau sambil memandang saya. "You just wait and see. It happens everywhere." (Tidak, tidak, tidak, Muhammad. Saya tidak bisa lebih serius dari itu. Kau tunggu dan lihat saja. Ini terjadi dimana-mana kok).

Neil juga menambahi "Yes, Mohammed, why not. We're not a bunch of clairvoyances, here. It's a trend in the world over." (Ya, Muhammad, kenapa tidak? Kan kita-kita ini bukan segerombolan cenayang. Itu kan kecenderungan di seluruh dunia).

Tentu saja saya hanya menganggap prediksi Prof Henningsen sebagai analisa, sementara itu GD sendiri juga diam saja ida pernah mengulang-ulang ucapan tersebut setahu saya. Sampai saya selesai sekolah di Hawaii (1995), saya sering berdebat dengan Professor Henningsen tentang GD dan kariernya, karena beliau selalu bertahan dengan apa yang diucapkannya di resto Vietnam malam itu. Saya sendiri tetap tidak yakin karena konstelasi perpolitikan Indonesia yang sangat kompleks dan Manfred (yang bukan ahli Indonesia) jelas tidak paham. Makanya ketika GD benar-benar terpilih jadi Presiden pada 1999, saya langsung ingat percakapan di restoran Vietnam pada sebuah malam di musim panas 1994 itu.Saat saya ingatkan, GD cuma menjawab: "Iya, ya, Kang... Inget saya, hebat profesor sampeyan itu." Apakah itu sebuah ramalan atau permonisi Manfred? Entahlah. Yang pasti saya menjadi saksi bahwa ada seorang akademisi yang sangat rasional dan tak memiliki kepentingan apapun, kecuali ingin melihat demokrasi berkembang di negeri kita, ternyata memiliki pandangan yang begitu tepat terhadap GD 5 tahun sebelum beliau jadi Presiden dan ngotot dengan prediksinya!.

(Sayang sekali, rencana GD dan saya untuk mengundang Prof. Henningsen untuk berceramah di Jakarta mengenai demokrasi dan civil society tetap tinggal rencana sampai GD lengser. Tapi sang Professor tetap telaten mengikuti perkembangan salah satu mahasiswanya di Indonesia sampai kini...)

Ketika saya diangkat sebagai Menteri di Kabinet GD, saya pun sempat menelepon Manfred dan minta pendapatnya. Saya minta pertimbangan apakah saya harus meninggalkan karier sebagai ilmuwan di LIPI dan menerjuni politik masuk Kabinet GD. Beliau mengatakan "you take it, because you are now in the middle of a very interesting and crucial time in the hstory of your country" (ambil saja tawaran GD, karena kamu sekarang sedang berada di tengah-tengah saat yang paling penting dan menarik dalam sejarah negerimu). Menyesalkah saya meninggalkan kesenyapan dan kedamaian menara gading dan berganti bergelimang dengan kebisingan dan kebalauan politik? Saya hanya ingat kata GD mengutip JFK bahwa tidak ada kiprah di dunia yang lebih mulia dibanding kiprah dalam politik, karena hasilnya akan dikenang dan dinikmati oleh banyak sekali orang dan menembus ruang dan waktu. Tentu saja kiprah politik di sini adalah kprah politik sebagaimana dijalankan secara konsisten oleh GD: politik untuk rakyat, dan politik yang berlandaskan ahlaq.
KENANGANKU DENGAN GUS DUR (8)
REMINISCENCE

Kukecup keningmu kali yang terakhir
Bersama turunnya kelambu dzikir
Kembang melati dan sejuta takbir
Menyelimuti jasadmu, waktu pun tersihir

Kau tahu, sejatinya aku tak pernah siap
Menerima berita yang tak kuharap
Kau tetap datang saat tidurku nan lelap
Dalam mimpi-mimpi di malam senyap

Baru kemarin rasanya kita susuri sungai Seine
Menapaki St Germain, nongkrong di kafe- kafe
Dengan fasih kau menyitir kata-kata Jean Paul Sartre
Dan bercerita tentang kegagahan Napoleon Bonaparte

Ah, hari-hari itu tanpa duka dan lelah
Hanya ada asa, tekad, dan marwah
Terik musim panas gersang dan gerah
Tak mampu surutkan ketetapan hati dan langkah

Adzan subuh sibakkan hangat selimut
Airmata deras saat kubersujud
Doa mengepakkan sayap ke Lauhul Mahfudz
Bersama doa orang-orang suci dan zuhud

Dalam temaram kau tersenyum ikhlas
Seperti sinar mentari tak kenal batas
Seperti salju meredam panas
Seperti air terjun, menggerus dan meretas

Kini jiwamu, jiwa abadi
Dalam dekapan rahmat Ilahi Robbi
Dalam nyanyi para Malaikat suci
Dalam pepuji para ahli surgawi


KENANGANKU DENGAN GUS DUR (9)
Salah satu hobby Gus Dur yang saya share, tapi tak banyak orang yang bisa ikutan, adalah cerita silat (cersil) Cina. Yang dimaksud buku cersil Cina ini bukan hanya yang dikarang oleh penulis Indonesia seperti alm. Khoo Ping Ho misalnya, tapi juga, dan justru lebih banyak, saduran- saduran dari para novelis cersil dari Cina, seperti Chin Yung, Liang Ie Shen, atau Khu Lung. Gus Dur dan saya menyukai para penyadur silat Cina dari negeri kita seperti Gan KL, OKT, SD Liong, Tjan ID, dan Boe Beng Tjoe. Pengarang cerita silat yang disebut terakhir, sebenarnya adalah pseudoname OKT, adalah yang karya-karyanya paling sering kami pakai sebagai rujukan, khususnya cersil yang berjudul "Kisah Membunuh Naga" (Ie Thian To Liong, KMN). Buku lain dari Boe Beng Tjoe yang merupakan "rujukan" penting adalah "Rajawali Sakti dan Pasangan Pendekar" (Sia Tiauw Enghiong, RSPP) dan "Memanah Burung Rajawali" (Sin Tiauw Hiap Lu, MBR). Sudah barang tentu GD dan saya juga membaca karya-karya Chin Yung yang lain, seperti "Pendekar dari Negeri Tayli" (Thian Liong Pat Poh) serta serial pendekar-pendekar dari Thian San karya Liang Ie Shen, seperti "Pedang Inti Es" (Peng Pok Han Kong Kiam), "Perjodohan Busur Kemala," dll. Bedanya antara GD dan saya dalm soal hobby cersil Cina ini adalah, GD berhenti membaca setelah penglihatan beliau terganggu, sedang saya masih aktif sampai sekarang, apalagi dengan penerbitan ulang cersil-cersil tersebut (saat ini saya sedang asyik membaca cersil "Pendekar Gembel" saduran Gan KL, edisi baru). Cersil Cina memang sangat adiktif bagi penggemarnya!

Bagi para penggemar cersil Cina, kisah atau cerita silat bukan hanya sekedar cerita tentang dunia persilatan (kangouw) di mana para pendekar berkelahi dengan penjahat, balas dendam dan pertikaian abadi antara kaum aliran putih (pek-to) vs kaum aliran hitam (hek-to), antara para pendekar budiman (hiap kek) vs kaum durjana dari rimba hijau (liok lim). Cersil adalah certa tentang kepahlawanan, tentang budi, tetang moral, tentang filsafat hidup, dan yang paling penting (setidaknya buat GD dan saya) tentang politik dan masalah kenegaraan. Kalau anda pembaca cersil Cina, pasti tahu tema sentral setiap cerita yang hampir sama, yaitu konflik antara kebaikan dan kejahatan dalam sebuah konteks politik perjuangan melawan penjajah. Cersil serial karya-karya Chin Yung tadi, seluruhnya menceritakan kisah pendekar-pendekar yang sekaligus pecinta negeri dan pejuang penentang penjajahan, Kwee Ceng dan Oey Yong (dalam RSPP) mempertahankan Dinasti Song, Yo Ko dan Siauw Liong Lie (dalam MBR) mempertahankan Ahala Song Selatan, sedang Boe Kie dan Tio Beng (dalam KMN) menggulingkan Dinasti Yuan (Mongol) dan meretas jalan bagi munculnya Dinasti Beng (Ming).

Sama seperti GD, saya mulai membaca cersil Cina sejak mulai kenal buku bacaan di kampung, waktu kelas 4 SD. Cersil, dalam lingkungan keluarga saya di Pesantren, dibaca sama antusiasnya dengan cerita-cerita tentang para Rasul, cerita pewayangan Mahabharata dan Ramayana, serta cerita tentang cowboy dan detektif ala Barat. Dan tampaknya banyak juga keluarga seperti keluarga saya di pesantren lain seperti GD yang share pengalaman seperti ini! Belakangan, setelah agak dewasa dan belajar, saya jadi paham kenapa banyak orang yang berlatar belakang santri ndeso memiliki pandangan dunia yang lebih kosmopolit dan universal dibanding yang mereka yang dari kota atau bahkan yang didikan sekolahan sekalipun! Soalnya ya itu tadi, sudah biasa dengan cerita-cerita dari berbagai latar budaya, sehingga multikulturalisme dan pluralisme sudah jadi makanan sejak bayi!

Kembali ke soal cersil Cina. Sering sambil ngobrol ngalor ngidul di kantor PBNU (lama) atau jalan dengan mobil bersama GD, saya tukar pengalaman membaca cersil Cina dan saling mengingat berbagai ilmu dan jurus-jurus sakti yang menjadi simpanan para pendekar. Ilmu-ilmu sakti seperti "Hang Liong Sip Pat Ciang" (Delapanbelas Pukulan Menaklukkan Naga) milik Ang Cit Kong si pengemis berjari sembilan (dalam RSPP dan MBR) yang diwariskan kepada Kwee Ceng dan Yo Ko, juga Kioe Yang Sin Kang, Thay Kek Koen, dan Kian Koen Tay Loe Ie Sin Kang yang dimiliki oleh Thio Boe Kie (dalam KMN) sering kami rujuk. Tentu saja GD juga menyukai ilmu dan jurus sakti "Tjioe Pat Sian" alias delapan dewa mabuk yang dipergunakan tokoh-tokoh seperti Kim Sie Ie dan anaknya Kim Tiok Liu (dalam kisah-kisah pendekar serial Thian San). Kalau orang sering mengatakan gaya GD dalam bertindak seperti "delapan dewa mabuk", mungkin karena beliau sering menggunakan istilah itu ketika bicara dengan publik.

Kalau sudah asyik ngobrol soal cersil begitu, biasanya cuma saya dan Gus Iim (adik bungsu GD) serta Pak Ghofar Rahman yang bisa "nyambung," karena memang sama-sama pecandu cersil Cina. Saya lantas paham bahwa GD bukan hanya sekadar menggemari cersil tetapi juga menjadikannya sebagai salah satu sumber inspirasi dalam pengalaman riil bergaul dengan masyarakat, termasuk dalam wacana dan kiprah berpolitik!. GD bukan saja menggunakan hobbynya itu untuk bisa berkomunikasi dengan kalangan Tionghoa sehingga mendapat simpati mereka, tetapi juga secara kreatif dan inovatif mengapropriasinya untuk kiprah perjuangan beliau. Selain menggunakan jurus "delapan dewa mabuk" sebagai metafora untuk taktik manuver yang canggih dan tak dapat dipahami oleh lawan (malah kawan juga), GD juga mendapat inspirasi dari ilmu sakti Pendekar Besar Thio Boe Kie, yaitu ilmu Kian Koen Tay Loe Ie Sin Kang (dalam KMN). Ilmu ini sangat ampuh dan merupakan ilmu rahasia yang hanya dimiliki oleh seorang ketua agama (Kauwcu) Beng Kauw. Dengan ilmu yang merupakan kombinasi ilmu silat Persia dan Cina itulah Boe Kie malang melintang di dunia Kangow. Melalui ilmu ini, Boe Kie mampu mengalahkan lawan dengan cara memindahkan tenaga lawan untuk memukul lawan itu sendiri. Inilah yang disebut prinsip "meminjam tenaga, memukul tenaga!". Di ceritakan dalam KMN, dengan ilmu inilah Thio Boe Kie mengalahkan seluruh tokoh persilatan dari 9 partai besar yang sedianya akan membasmi Beng Kauw dalam serangan di Kong Beng Teng di wilayah gunung Kun Lun San. Bukan saja serangan itu berhasil digagalkan, Boe Kie malah diangkat sebagai Ketua Agama (Kauwcu) Beng Kauw, padahal ia masih muda usia dan baru turun gunung!

Kisah GD ada mirip-miripnya dengan kisah perjuangan Thio Boe Kie, Kauwcu dari Beng Kauw, putra dari pasangan Pendekar Thio Cui San dari Bu Tong Pay dan In So So puteri Ketua agama (Kauwcu) Peh Bie Kauw yang bernama In Thian Ceng. GD adalah keturunan ulama-ulama besar, mirip dengan Boe Kie yang juga keturunan para pendekar besar dan bahkan cucu murid dari Ketua dan pendiri partai (Thayciangboen Sucow) Boe Tong Pay, Thio Sam Hong! Mirip Boe Kie, yang Ketua Agama Terang (Beng Kauw), GD juga berjuang melalui Ormas keagamaan NU. Kalau Boe Kie menjalankan reformasi internal di Beng Kauw dengan memerintahkan anggotanya untuk meninggalkan praktik-praktik sesat dan permusuhan dengan pihak organisasi lain dalam rimba persilatan, GD melakukan reformasi internal NU agar kembali ke Khittah dan melepaskan diri dari politik praktis. Thio Boe Kie berhasil merubah reputasi Beng Kauw yang semula tidak disukai, bahkan dijuluki Mo Kauw (agama iblis), di kalangan Kangouw, menjhadi sebuah kekuatan persilatan terkemuka dan pelopor melawan Dinasti Yuan. GD berhasil mengangkat NU sebagi ormas keagamaan Islam di negeri ini menjadi kekuatan masyarakat sipil (civil society) dan pelopor gerakan reformasi melawan Orde Baru. Thio Boe Kie berhasil mengusir penjajah Mongol, dan salah satu panglimanya, Coe Goan Ciang, kemudian mendirikan Dinasti Beng (Ming). GD berhasil menjadi Presiden pertama ere reformasi, walaupun sangat singkat, dan berhasil mereformasi peran TNI yang merupakan salah satu fondasi bagi kelanjutan demokratisasi di Indonesia!

Masih ada kemiripan GD dengan Thio Boe Kie yang paling menarik bagi saya. GD sering mengatakan kepada saya pada saat ngobrol soal cersil Cina dan politik, bahwa taktiknya melawan Pak Harto antara lain adalah menggunakan inti ilmu "meminjam tenaga dan memukul tenaga" ala Thio Boe Kie. Mengapa? Karena seperti juga lawan-lawan Boe Kie yang sangat dahsyat dan kuat, Orba pun pada masa jayanya terlalu kuat untuk dilawan oleh GD dan masyarakat sipil, termasuk NU, dan parpol baik PDI maupun PPP (yang saat itu identik dengan NU). Tak pelak, GD harus memakai tenaga Pak Harto dan Orba untuk melawan dominasi kekuasaan mereka sendiri. "Makanya, Kang, sampeyan gak usah ikut-ikut heran dan bingung, kalau kadang-kadang saya harus bermanuver menggandeng mBak Tutut dan lain sebagainya. Sampean harus bisa membedakan mana yang prinsip, strategi dan taktik saya." Walaupun kadang-kadang saya tetap tidak bisa memahami sebagian dari "manuver" beliau, tetapi saya paham dengan metafor "jurus sakti" ini, selain jurus delapan dewa mabuk tadi!. Kalau banyak orang (termasuk kawan sendiri) yang bingung dengan jurus manuver politik GD (berhadapan dengan rezim Orba), barangkali karena mereka tidak terlalu paham dengan hobby cersil Cina ini!

GD adalah seorang pelajar budaya yang sangat brillian, kreatif, dan inovatif. beliau bisa mengambil manfaat dari semua aliran, paham, pikiran yang dihasilkan oelh budaya dan peradaban yang ada, tanpa kehilangan jati dirinya. Kegemaran membaca cersil, tidak hanya karena untuk hiburan semata, tetapi juga semacam musafir budaya (cultural journey) yang dapat memperbesar kearifan dan pemahaman tentang manusia dan karyanya, tentang pengalaman-pegalaman mereka, sejarah mereka. Dari san beliau membawa pulang untuk dipersembahkan kepada negeri yang dicintainya, Indonesia. Tak semua orang bisa menerima bahkan mengerti dan memahami GD. Tapi di situlah dimensi kemanusaain GD, dan justru yang menjadikannya tokoh besar dalam sejarah bangsa. Yaitu, bahwa apa yang dipikirkan dan dilakukan GD masih terus akan dibicarakan, dianalisa, diperdebatkan oleh anak bangsa. Sepanjang masa.

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (10)
Hari ini, 7/01/2010, Harian Rakyat Merdeka (edisi cetak) ada berita foto yang captionnya adalah rencana Ikatan Alumni PMII (IKA PMII) yang akan menulis surat kepada Presiden SBY mengenai usul agar GD dijadikan pahlawan nasional. Selain itu, diberitakan juga bhw IKA PMII akan mendirikan Universitas Abdurrahman Wahid, dengan tujuan agar "pemikiran Gus Dur berkembang untuk dunia pendidikan." Saya langsung tertarik dengan bagian yang terakhir berita itu (soal Universitas Gus Dur), bukan karena soal gelar pahlawan nasional tidak penting, tetapi karena alasan lain. Alasan itu adalah saya langsung teringat guyonan GD beberapa tahun lalu menyangkut soal universitas dan sekolah-sekolah yang dibuat oleh NU dan warganya.

Gus Dur adalah sosok yang sangat mencintai ilmu dan pendidikan, termasuk pesantren dan sekolah umum. Makanya beliau sangat memperhatikan mutu pendidkan di negeri ini, mulai dari tingkat ibtida'iyyah sampai perguruan tinggi, negeri maupun swasta. Termasuk sekolah-sekolah yang dibuat dan dikelola warga NU, baik dalam lingkungan Lembaga Pendidikan Ma'arif NU, atau di luarnya. GD sangat prihatin dengan kualitas umumnya sekolah-sekolah NU yang, menurut beliau, cenderung masih relatif rendah dan kalah dengan milik organisasi Islam lain, semacam Muhammadiyah atau Persis, dll. Saking gregetannya, GD punya istilah UTP alias Universitas Tombo Pengen (Universitas Obat Kepengin) terhadap kebanyakan perguruan tinggi milik NU yang dibuat di daerah-daerah, termasuk yang di Tebuireng Jombang tempat kelahirannya. Kritik GD memang membikin banyak tokoh NU merah telinga, tapi GD cuek saja. Bukan apa-apa, GD ingin agar NU benar-benar serius kalau mau terlibat dalam pencerdasan bangsa melalui pendidikan umum, termasuk universitas atau akdemi. Bagi GD, tak perlu banyak-banyak membuat PT, yang penting berkualitas. Memang GD juga tidak terlalu happy dengan trend sekolah-sekolah Islam yang mahal dan hanya bisa dijangkau kelas menengah dan atas. Bagi GD, sekolah dan pesantren yang digarap NU justru dapat memberikan kesempatan kepada kaum mustad'afin (melarat) agar tetap bisa mengecap ilmu. Tapi, ya itu tadi, GD toh tetap ingin kualitas sekolah dan universitas NU bisa meningkat mutunya dengan keseriusan manajemen dan keilmuan.

Maka GD pun suka membuat guyon soal nama-nama sekolah NU yang menggunakan nama para tokoh sentral jam'iyyah ini. Beliau merasa sayang kalau nama-nama besar yang dipasang ternyata tidak sesuai dengan mutu sekolah atau Universitasnya. Suatu saat, saya dan beberapa teman sedang ngobrol dengan GD di ponpes As-Shiddiqiyah milik KH. Nur Muhammad Iskandar di Kedoya, Jakarta Barat. Entah bagaimana soal sekolah-sekolah milik NU juga disinggung. Salah seorang tanya kepada GD:

"Gus, nanti nama panjenengan boleh enggak untuk nama sekolah atau universitas?"

" Ah, nama saya paling untuk TK saja.." Jawab GD sambil tertawa.

"Kenapa, Gus?" si orang ini tanya lagi.

"Tanya aja ke Pak Ghofar (Rahman) ini.. Dia kan Ketua PP Ma'arif NU." Kata Gus Dur, masih sambil senyam senyum. "Ayo, Pak Ghofar, kasih tahu dia..."

"Hehehe..." Kata Pak Ghofar sebelum melanjutkan. "Kata Gus Dur, kalau nama Universitas, itu sudah jadi milik mBah Hasyim, makanya ada UNHAS (Universitas Hasyim Asy'ari), seperti yang di Jombang itu. Kalau untuk SMA dan 'Aliyah sudah jadi milik Kyai Wahid Hasyim (makanya banyak SMA Wahid Hasyim). Kalau SMP dan Tsanawiyah pakai nama mBah Bisri atau mBah Wahab (misalnya sekolah Tsanawiyah Bisri Syansuri atau Mu'allimat Wahab Chasbullah). Kalau Pak Ud nanti wafat, nama KH Yusuf Hasyim (Paman GD) dipakai untuk SD. Nah, kan Gus Dur nanti hanya kebagian TK, TK Abdurrahman Wahid, hehehe...." (GD dan semua orang ketawa ngakak!)

GD lalu menyambung :"Kasihan nama-nama beliau yang begitu besar kita pasang tapi universitasnya ternyata cuma untuk tombo pengen saja, alias UTP. Mestinya kalau membawa nama besar, harus mutunya sama besarnya."

Bagi GD, tidak penting benar NU punya banyak sekolah atau Universitas, selama belum bisa menunjukkan kualitas. Itulah sebabnya salah satu cita-cita GD adalah membangun sebuah Universitas NU yang berkualitas Internasional di Jakarta. Ketika beliau menjadi Presiden, sudah direncanakan akan mewujudkan cita-cita tersebut dengan mengajak para pakar dan ilmuwan baik NU maupun non NU. Sayang sekali sampai sekarang belum terwujud. Barangkali, niat IKA PMII tadi memang terwujud seperti yang dicita-citakan GD. Jangan sampai Universitas Abdurrahman Wahid yang dibangun nanti nasibnya sama dengan puluhan UTP yang dikritik GD semasa masih sugeng.

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (11)
Sosok Gus Dur tidak mungkin dilepaskan dari orang Madura. Maksud saya tentu bukan dengan Mahfud MD, tapi orang Madura sebagai kolektifitas etnis, kultur yang khas yang dekat dengan kepribadian, dunia dan cara pandang seorang Abdurrahman Wahid. Kita semua mafhum bahwa suku Madura sangat dekat dengan NU. Saking dekatnya, untuk sebagian mereka NU itu bukan ormas, tapi agama itu sendiri. Suku Madura adalah salah satu suku yang meproduksi ulama-ulama top NU yang dikenal memiliki kharisma besar dan kondang di seantero tanah air, seperti mBah K.H. Cholil Bangkalan. Orang-orang Madura bisa disebut sebagai "homo economicus" par-excellence dalam dunia perdagangan, sebuah okupasi yang juga melekat dengan NU. Orang Madura dikenal sangat mencintai para Ulama dan Kyai mereka, sehingga kalau sudah urusan yang satu ini orang Jawa yang paling NU pun rasanya kalah. Tak heran kalau orang non- Madura belum ada yang hobby vitamin K alias ziarah kuburan para wali bisa menyamai orang Madura. GD dan saya berpendapat orang Madura memiliki kecerdasan yang tinggi dan kemampuan mengantisipasi dan merespon krisis dengan cepat. Stereotype orang Madura adalah pemberani, angker dan pemberang, protektif terhadap keluarga dan harga diri, tetapi juga sangat sentimentil kalau sudah berurusan dengan agama (mengingatkan saya kepada orang- orang dari Sicilia, Italia). Last but not the least, orang Madura sangat mencintai kampung halamannya.

Itulah sebabnya GD selalu mengagumi hal-hal yang ada kaitannya dengan Madura, dengan cara beliau yang khas. Yaitu beliau sering menampilkannya dalam humor-humor yang di luar tampaknya meledek dan kritis namun sejatinya terbersit suatu kekaguman dan pembelajaran. GD mengekspressikan kecintaan beliau terhadap Madura dan budayanya memalui humor yang mungkin kedengaran ugal-ugalan, tetapi saya menangkapnya sebagai rasa penghormatan. Tak pelak, memahami GD tak akan lengkap tanpa mengenal humor beliau tentang Madura yang jumlahnya mungkin hanya bisa disamai dengan humor GD tentang bangsa Yahudi. Menurut pandangan saya sampai sekarang orang-orang Madura dari segala lapisan belum ada yang merasa dilecehkan oleh guyonan GD tentang mereka, apalagi protes karena merasa dicemarkan nama baiknya. Paling-paling juga ada yang mringis aja sambil memaklumi keanehan GD. Yang banyak terjadi justru GD sering "kulakan" humor-humor tentang orang Madura dari mereka sendiri!

Guyon Madura GD sudah sangat banyak beredar di publik dan kayaknya hampir tiap minggu bertambah banyak! Saking banyaknya, mungkin sudah ada buku tersendiri dan memang itulah salah satu hal yang membuat GD mengagumkan. Karena itulah saya tidak akan berpretensi bisa menyajikan guyonan Madura GD yang "baru", tapi hanya yang ada kenangannya tersendiri buat saya pribadi. Misalnya yang satu ini:

Ketika baru saja diangkat sebagai Meneg Ristek, saya suatu hari ngobrol di istana sambil menunggu makan malam. Saya merasa perlu untuk bertanya kepada beliau, kira-kira bagaimana kiat yang pas untuk mengelola kementerian negara yang sudah terlanjur "ngetop" gara-gara dipegang Pak Habibie selama 20-an tahun itu. Padahal setelah beliau tidak lagi menjabat di sana dan diganti oleh Pak Rahadi Ramelan dan Pak Zuhal, kementerian ini mulai harus melakukan reorientasi, apalagi setelah ada reformasi. GD menjawab dengan santai dan, tentu saja, dibumbui humor.

"Jadi begini, Kang. Jadi Menteri yang ngurusi Iptek itu ya harus berusaha memahami dinamika masyarakat di mana dia berada. Jangan cuma pengen maju cepat-cepat saja. Sampeyan jangan meniru pendahulu sampeyan yang pendekatannya elitis, tetapi tidak atau kurang memahami bagaimana sebetulnya rakyat banyak memandang teknologi. Termasuk di situ paham terhadap persepsi mereka terhadap gunanya teknologi dan, yang lebih penting, bagaimana iptek bisa dipakai melayani keperluan dasar mereka. Kalau sampeyan meneruskan model pendekatan lama, ya iptek kita mungkin maju, tapi makin terasing dari rakyat dan malah membuat elite tidak paham.

Sudah pernah dengar cerita MenegRistek dikalahin orang Madura?"

"Gimana Gus.." (saya sudah senyum-senyum, karena pasti ada lelucon Madura yang menarik).

"Meneg Ristek sebelum sampeyan ada yang luar biasa hebatnya karena konon bisa bikin pesawat. Pada suatu hari dia mau pamer di muka rakyat Madura betapa hebatnya capaian dia dan bagaimana rakyat seharusnya bangga dan memujanya. Nah, tibalah dia di sebuah Pesantren di Bangkalan. Seperti lazimnya zaman itu, para santri dan masyarakat dikerahkan oleh Bupati dan Camat dan Lurah untuk hadir mendengarkan pidato Pak Menteri.

Pak Menteri yang satu ini punya kebiasaany kalau pidato menggebu-gebu, lama, bersemangat, hingga matanya pun melotot-melotot. Di pesantren itu juga begitu. Pak Menteri antara lain mengatakan:

'Jadi sudara-sudara, Pak Kyai-kyai, kita harus bangga! Karena bangsa kita telah punya putra yang mampu membuat pesawat terbang sekarang. Sebentar lagi, bukan cuma pesawat terbang biasa, malah pesawat yang bisa mendarat ke bulan. Apakah sudara-sudara tidak bangga dengan prestasi anak bangsa sendiri?'

Anehnya, hadirin diam saja. Pak Menteri heran, dan bertanya lagi: 'Apakah sudara-sudara bangga?'. Masih juga hadirin diam, bahkan setelah Pak menteri mengulangi tiga kali pertanya seperti itu. Akhirnya ada seorang santri kurus di pojokan yang angkat tangan sambil bicara:

'Kalau saya, tak bangga sama sekali Pak Menteri!'.

Terkejutlah Pak Menteri, pikirnya 'orang Madura ini aneh.. orang lain bangga sama saya kok ini tidak.' Karena itu dia jadi penasaran dan tanya kepada si santri kurus tadi: 'Kenapa dik kok tidak bangga, dik?'
Kata si santri: 'Soalnya sudah ada yang bisa begitu, Pak. Saya akan bangga kalau Bapak bisa bikin pesawat yang bisa ke matahari, tak iya..." (Mata para hadirin semua terarah kepada Pak Menteri, menunggu reaksi dia).

'Ooo begitu, ya. Apakah adik tahu, bahwa mendarat ke matahari itu tidak mungkin..' Kata Pak Menteri, senyum-senyum.
'Lho kenapa tak mungkin, Pak..?' Si santri ngeyel.
'Begini, matahari itu panasnya ada berjuta-juta derajat celsius, sehingga tidak ada logam yang bisa dipakai untuk membuat pesawat yang bisa mendekat, apalagi mendarat. Baru mendekat sekian juta kilometer dari matahari saja pesawat itu pasti sudah meleleh..' (lalu Pak Menteri yang brillian itu pun menjelaskan kepada para hadirin di pesantren soal kesulitan menciptakan pesawat seperti itu disertai paparan ilmiah ilmu fisika dan segala macam untuk memperkuat argumennya. Tentu dengan menggebu dan bersemangat juga).

'Kalau cuma begitu saja mudah Pak..' Belum selesai Pak menteri bicara, si santri Madura menyela.
'Loh, mudah gimana?' Pak Menteri lagi-lagi kaget
'Kalau takut pesawatnya meleleh karena panas, berangkatnya habis Magrib saja. Kan sudah dingin, tak iya....'

GD tertawa ngakak dan saya pun cengengesan lalu sebentar kemudian ikut terbahak-bahak juga..

"Pak Menteri itu maksudnya baik, ingin membuat rakyat bangga dengan kemampuan sendiri, cuma dia gak paham sosiologi dan antropologi orang-orang di bawah, apalagi orang Madura seperti di pesantren Bangkalan tadi. Gitu lho Kang... sehebat apapun iptek kita, kalau gak dipahami gunanya buat rakyat, dan si elite cuma mau karepnya sendiri... manfaatnya ya kurang..."

Gus Dur baru mau memberi satu joke lagi, tapi makan malam sudah siap. Terpaksa ditunda dulu..
KENANGANKU DENGAN GUS DUR (12)

Ini foto GD saat ke ponpes saya yang pertama, jam 3.00 pagi. Saya duduk di sebelah beliau.
Salah satu kesulitan yang sering saya hadapi dalam menjelaskan kepada masyarakat, tidak peduli di atas atau di bawah, adalah mengenai sulitnya mendatangkan Gus Dur untuk bisa berpidato atau sekedar hadir di acara, apakah itu peringatan Khaul, hari besar Islam, pengantin, atau bahkan seminar. Masalah yang mungkin menurut anda sepele ini, kalau tidak di handle dengan baik, bisa benar-benar membuat berabe. Minimum akan menciptakan salah paham, maksimum anda bisa dibilang menghalang-halangi atau berusaha menghalangi datangnya Gus Dur. Sayangnya, gaya Gus Dur dalam melayani kebutuhan yang satu ini, sama sekali tidak ada pakemnya, apalagi SOP (standar operating procedures) yang jelas. Gus Dur bisa saja tiba-tiba datang di sebuah acara yang baru diberitahukan kepada beliau sejam yang lalu. Tapi bisa juga beliau tidak datang ke acara yang sudah dijadwalkan sebulan atau dua bulan sebelumnya, walaupun waktunya ditetapkan oleh beliau sendiri! Makanya, saya mungkin orang yang paling menghindar kalau diminta membantu mengundang GD untuk acara apapun. Daripada saya kena hujatan panitia (apalagi kalau yang mengundang para Kyai), mendingan saya tidak ikut-ikut. Bahkan saya yakin, orang-orang yang nempel GD seperti sopir, sekretaris, dan ajudan beliaupun tidak akan berani janji seratus persen bahwa GD akan datang. Saya menemukan semacam "pegangan" dalam soal memastikan apakah GD datang atau tidak dalam undangan (ini berlaku juga untuk undangan ke luar negeri, lho..). Pegangan itu adalah "sebelum GD ada di samping saya, maka beliau masih harus dianggap belum datang." Dengan formula seperti ini, hati saya setidaknya bisa rada tenang dan tidak was-was. Menjamin GD akan hadir di sebuah acara, sama saja dengan menganggap ramalan cuaca seperti ilmu pasti!

Selain soal ketidakpastian bisa hadir itu, faktor yang harus diperhitungkan oleh semua orang yang mengundang beliau adalah waktu. Jangan pernah berpikir bahwa GD akan datang tepat waktu. Malah, saya punya kebiasaan menebak, kalau GD datang di suatu acara rada-rada tepat waktu, maka pasti sedang ada masalah atau nanti acaranya bermasalah. Waktu, bagi GD adalah sesuatu yang paling elusive, susah dipegang. Dalam berurusan dg GD, waktu adalah sesuatu yang tidak lagi menjadi penentu. Manajemen waktu yang dimiliki GD adalah yang paling fleksibel di seluruh dunia, karena hanya GD saja yang menentukan kapan beliau harus tunduk. Bukan orang lain. Inilah yang menyebabkan mula-mula banyak aktifis Fordem yang suka disiplin soal waktu jengkel terhadap GD, tapi akhirnya toh mereka yang harus menyerah. Teman-teman GD pada akhirnya harus mau mengorbankan "disiplin" ini kalau ingin tetap mau bergaul enak dengan GD. Bagi mereka yang ngotot ya silahkan kecewa terus.

Saya kira Gus Dur melakukan ini "by design," bukan karena tak sengaja. Soalnya, seandainya kegiatan GD diatur secara rapi dan sesuai jadwal, barangkali malah repot dan juga tidak "efektif." GD lebih suka tidak dibelenggu oleh aturan dan jadwal, sehingga beliau bisa bermanuver untuk bisa memilih acara mana yang akan beliau datangi (tentu dengan segala resikonya), tanpa membuat orang lain tersinggung atau sakit hati. Dengan ketidak teraturan beliau soal datang ke acara itu, maka seolah-olah malah "ada aturan" tak tertulis bahwa kalau ada yang mengundang GD, harus di sadari bahwa selalu ada resiko GD tidak datang. Soal alasan, GD punya segudang: mulai dari tiba-tiba sakit perut sampai dilarang oleh Presiden untuk tidak meninggalkan Indonesia karena situasi sedang genting! Saya sudah pernah menyaksikan bagaimana GD menggunakan semua itu, dan yang bisa saya lakukan hanya dua: tertawa atau diam saja. Ajaibnya, kendati sudah tahu soal resiko semacam ini, orang yang mengundang GD setiap hari tak pernah berkurang. Jarang sekali saya jumpai ada orang yang kapok mengundang GD, meskipun beliau baru bisa datang setelah undangan ke sepuluh atau lebih! Yang lebih parah lagi, masyarakat (khususnya masyarakat bawah) malah "menikmati" suspense alias kejutan dan ketegangan dalam menanti GD hadir atau tidak dan dengan sangat setia!

Ini saya alami sendiri di kampung saat mengundang GD pertama kali (GD dua kali ke pesantren saya dalam rangka Khaul al-maghfurlah ayah saya, KH. Abdul Fatah Al-Manshur). Sebelumnya, saya sudah mati-matian menolak untuk mengundang beliau karena khawatir kecewa kalau beliau tidak hadir pada saat acara. Tapi karena desakan masyarakat, sulit ditolak. Apa boleh buat, saya matur (bilang) kepada GD bahwa orang kampung saya menginginkan beliau hadir di acara Khaul. Seperti biasa, GD menjawab bisa, walaupun dalam hati saya sudah siap kecewa. Pada malam acara berlangsung, ternyata sampai jam 23.00 GD belum juga nongol. Komunikasi melalui telepon selalu mengatakan beliau sedang "on the way". Dari Semarang, lewat Grobogan, ke Cepu, Bojonegoro, mampir ziarah di mBah Bonang di Tuban, istirahat di rumah Pak Ghofar, dst. Saya pura-pura tidak dengar setiap kali panitia bertanya sudah sampai di mana beliau. Saya bilang "inilah resiko kalau mengundang GD." Begitulah, kendati acara "diperpanjang" sampai jam 24.00, tetap GD belum sampai Tuban apalagi di kampung saya, Plumpang, yang masih 17 km dari kota. Akhirnya, acara Khaul selesai, ribuan orang pun pulang tanpa berhasil melihat GD.

Jam 2.30 dini hari, GD pun datang. Hampir semua panitia dan keluarga saya sudah tidur, hanya beberapa saja yang masih belum tidur karena bebenah dan bebersih tempat bekas acara. GD pun dengan tenang langsung ke kursi di luar rumah dan duduk.. "Wah, maaf ya Kang. Ini tadi harus kesana kemari, ziarah ke mbah Bonang, mBah Kerto, dan makan sekalian di rumah Pak Ghofar..". Kata beliau sambil melepas lelah di kursi. Entah bagaimana mulanya, orang-orang yang pada tidur satu persatu bangun dan ikutan nimbrung di sekeliling kursi yang diduduki GD. Panitia yang bebersih pun datang dan akhirnya berkumpullah "hadirin" sekitar 30-an orang "ngombyongi" beliau. Saya jadi tidak enak kalau tidak memberikan kesempatan kepada para "hadirin", yang walaupun sambil ngantuk, mendengarkan GD bicara. Saya langsung menyilahkan Pak Kyai Rofi' (sesepuh desa dan Kyai ponpes saya) untuk memberi pengantar.

Kata Pak Kyai " Assalamualaikum wr wb. Terimakasih Gus atas rawuhnya panjenengan. Alhamdulillah ternyata bisa hadir, sehingga kita yang di sini ini memang mendapat barokahnya Gus Dur. Monggo Gus dipersilahkan..."

Gus Dur tentu tidak pidato seperti di podium, tapi ngobrol santai dengan mereka, ngalor ngidul sampai subuh datang...

Anehnya, paginya tersiar kabar di kampung saya bahwa GD memang datang dan berpidato. Dan seisi desa heboh menganggap panitia berlaku tidak fair, karena tidak memberitahu kedatangan Gus Dur tersebut. Walaupun mereka sudah dijelaskan bahwa GD sampai di pesantren jam 2.30, toh tetap saja mereka menyalahkan panitia yang dianggap mau "memonopoli" GD! Saya jadi berfikir setelah beberapa minggu kemudian, seandainya semua hadirin yang ribuan itu dibangunkan dari tidur mereka dan disuruh kembali untuk mendengarkan GD pidato, jangan-jangan mereka akan datang....

Setelah kejadian itu, saya tidak lagi menolak untuk mengundang GD yang kedua kalinya. Alhamdulillah, GD hadir tidak terlalu terlambat pada kali yang kedua itu (sekitar tahun 2003) dan ribuan ummat mengelu-elukannya seperti ditempat lain di Jawa Timur. GD bukan saja tidak membuat masyarakat kapok mengundang, tapi malah justru makin semangat karena menikmati ketidakpastian yang membawa barokah itu.!

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (13)
Dalam sebuah nadzom (syair) dari kitab Ta'lim al Muta'allim yang jadi bacaan dan hafalan wajib santri-santri di pesantren NU ada kata-kata bijak begini: "Kalau kamu ingin tahu tentang seseorang, maka lihatlah teman-teman orang tersebut. Karena (dg melihat) teman-teman itu kamu akan tahu siapa sebenarnya dia." Kutipan syair ini selalu saya pakai pedoman untuk melakukan "penjajagan" terhadap seseorang yang saya ingin tahu lebih jauh. Apalagi kalau saya juga ingin berteman. Walaupun tidak 100% foolproof alias terjamin mutlak, saya kira apa yang diajarkan oleh kitab tentang ahlaq (moralitas) itu banyak benarnya. Dalam upaya saya memahami Gus Dur (Allah Yarham), saya juga berusaha mempelajari dengan sungguh-sungguh siapa yang menjadi teman dekat beliau, baik yang di NU atau di luar NU, baik orang Indonesia atau orang asing, baik yang masih hidup maupun yang sudah tiada.

Salah satu teman dekat GD dari luar Indonesia adalah Dr. Ali Aghar Engineer, seorang cendekiawan Muslim dari India yang juga memiliki pemikiran-pemikran terobosan (groundbreaking thoughts) dan, ya, kontroversial di negaranya sendiri dan bahkan di negara-negara Muslim seperti di Pakistan dan Timur Tengah. Mirip dengan "nasib" GD di negerinya sendiri, Dr. Asghar juga seing dihujat dan di "kafirkan" oleh para pemuka agama karena membela kebebasan berfikir di antara para cendekiawan Muslim India. Beliau berdua juga "share" beberapa prinsip perjuangan, seperti: pentingnya pembelaan demokrasi dan HAM, kebebasan melakukan pemikiran, toleransi yang luas dalam pergaulan antar-ummat beragama, mendorong dialog lintas-iman, dan, last but not the least, pandangan bahwa de-ideologisasi agama sangat penting dalam politik di negara-negara berpenduduk Muslim seperti Indonesia dan India.

Tapi persamaan antara kedua beliau yang paling menarik bagi saya adalah bahwa GD dan Ali Asghar (AA) sama-sama punya prilaku dan kebiasaan hidup yang istilah pesantrennya disebut "Khoriqul 'Adah" alias nyleneh dan nyentrik! Cuma kalau di Indonesia khususnya di sementara kalangan NU sifat GD itu dianggap sebagai pertanda "kewalian" beliau, dalam kasus AA saya tidak tahu. Tapi itu tidak penting bagi saya. Yang penting adalah karena keduanya nyentrik, lucu dan brillian. Sehingga ketika saya dikenalkan oleh GD pertama kali dengan Dr. Asghar, saya langsung "falling in love," terhadap pemikirannya dan selera humornya yang juga tinggi. Bagaimana tidak, begitu ketemu dan dikenalkan oleh GD, kami bertiga langsung "cocok" , ketawa-ketiwi dan tak pernah lupa dengan episode itu! Ceritanya begini:

Waktu itu akhir Desember 1996. Gus Dur diundang oleh salah satu lembaga milik Kementerian Luar Negeri Jepang, Japanese Institute for International Relations (JIIR) ke Tokyo untuk sebuah seminar internasional mengenai Islam. Dipelopori oleh mantan Dubes Jepang untuk AS yang sangat dihormati, Mr. Matsunaga (kalau tak salah namanya), seminar tentang Islam yang baru pertama kali dilakukan oleh Kemlu Jepang itu mengundang semua tokoh-tokoh terpenting di Jepang, termasuk kalangan politik, cendekiawan, pengusaha, budayawan, mahasiswa, dll. Selain GD, yang selain dimasukkan sebagai tokoh Islam terkemuka di Indonesia dan ASEAN, juga diundang John Esposito (AS), Takashi Shiraisi (Jepang), Dr. Asghar Ali (India),dan tokoh Ulama Syi'ah dari Iran (saya lupa nama beliau). Saya, yang baru pulang dari sekolah belum cukup setahun, diajak GD untuk ikut sekalian menimba pengalaman dan ilmu. Karena seminar ini ditujukan kepada publik Jepang yang belum tahu atau sedikit sekali mengenal Islam, maka oleh panitia dibuat rada istimewa. Tempatnya di sebuah hotel yang termasuk terbaik di Tokyo, yaitu Hotel Okura, yang lokasinya persis di sebelah Kedubes Amerika Serikat di Tokyo.

Gus Dur dan saya sampai di Hotel Okura sekitar jam 10.30 setelah dijemput dari Narita menggunakan limousine dan menempuh perjalanan sekitar 2 jam. Begitu tiba, kami berdua, terutama saya, langsung merasa rada "intimidated" dengan Hotel yang begitu wah dan pelayanan ala Jepang yang super sopan dan halus, tapi luar biasa efsien dan efektif! Lebih "seru" lagi ketika GD mau mengajak makan siang dan memeriksa buku menu room service hotel. Saya rasanya shock melihat harga yang tertera di sana, sampai GD pun tersenyum-senyum. "Mahal ya Kang, makan di Hotel mewah ini." Kata beliau. Saya bilang, "Kalau mahal itu fitnah, gus. Yang bener suuangat mahal!" dan kami berdua pun ngakak!

"Tapi Gus, sebenarnya kita ini kan ditanggung untuk makannya juga." Kata saya

"Iya, tapi sampeyan lihat kan kita ini belum masuk jam makan siang, dan ini belum dicover. Makanya kita tadi disangoni panitia untuk makan pagi dan siang kalau masih belum di atur panitia." Kata GD

"Bener Gus, tapi kok mahal begini ya, jangan-jangan sangu yang diberikan gak cukup. Lihat saja, sarapan kontinental ala Amerika aja sekian ribu Yen. Kalau makan siang lebih mengerikan lagi, Gus" Saya bilang.

"Sudah gini saja Kang. Kita jalan-jalan saja keluar Hotel, cari warung kecil khas Jepang. Mungkin nanti ada yang lebih murah. Sangunya nanti kita simpan buat beli oleh-oleh..." Kata GD.

"Oke Gus, saya ndherek saja..."

Maka jalanlah kami berdua keluar Hotel agak jauh di depan Kedubes AS. ternyata GD benar, ada sederetan restoran Jepang yang mungil-mungil yang menjajakan makanan seperti bento, ramen, shusi, yosenabe, di samping makanan dalam kotak seperti mie cup ala Jepang (ramen), dsb. Kami berdua masuk dan memesan yosenabe (sup ikan) dan beberapa potong sushi serta ocha (teh) panas. Lumayan juga bisa makan kenyang dengan harga jauh sekali di bawah menu Hotel Okura.

"Nah, Kang. Kita kan gak perlu mesen makanan di Hotel. Kita beli saja mie cup beberapa dan nati kalau lapar kita makan di kamar. Ngirit uang sangu kan..."

"Sip lah Gus, saya juga suka model mie cup ini kok." Jawab saya. Dan kami lalu membeli bebrapa biji mie cup dan dimasukkan ke tas plastik putih, terus kembali ke hotel. (Terus terang saya agak malu juga membawa tas plastik berisi mie cup karena sangat tidak pas dalam lingkungan yang demikian kontras! Tapi karena GD cuek saja, maka saya pun gak mau mikirin..)

Baru saja kami akan masuk lift, tiba-tba ada suara memanggil GD, dan ketika kami menengok ternyata ada orang berbaju India warna putih berlari kecil menghampiri GD.

"Gus Dur, wait up!..."

"Oh, Masya Allah, Dr. Ali Aghar, how've you been?" (Apa kabar Dr Ali Asghar) GD menyalami orang itu

" You just coming in or you're alreday here for several days?" Tanya Dr. Ali (Anda baru saja sampai atau sudah beberapa hari disini?)

" We're just in a couple of hours ago and came back from lunch." GD mengatakan bahwa kami baru sampai dan barusan makan siang.

"Oh, I should have been go to lunch with you, Gus. I really am starving, but couldn't eat here in the Hotel. The price's crazy!" Kata AA, yang mengatakan bhw beliau gak mungkin makan siang di hotel, karena harganya edan-edanan. (Kami pun tertawa bareng)

"Oh, by the way Doctor, this is Dr. Hikam, my colleague from Jakarta. He's just graduated from the US and work at LIPI. Of course, he's a NU too, hehehe.." Kata GD mengenalkan saya yang lalu saling bersalaman. Saya lihat GD sangat gembira bertemiu Dr. AA di sini dan langsung kumat penyakit guyonnya (saya tulis dg bahasa Indonesia saja).

"Begini Dr Ali. Kita tadi keluar Hotel juga karena harga makanan di sini gila-gilaan. Daripada uang sangu kita bayar ke hotel lebih baik kita makan di warung kecil saja. Jadi sekarang, saya dan Kang Hikam ini ikut gerombolan Abu Noodle, bukan Abu Nidal teroris... Hahahaha..." (Saya dan Dr AA juga cekakakan karena GD memelesetkan nama tokoh teroris Palestina dengan mie cup)

"Wah kalau begitu saya juga harus jadi anggota grup Abu Noodle, dong. Dimana tempatnya?"
Dr. AA menimpali dan GD lalu memberi tahu tempatnya.

Malamnya, ketika ada resepsi "mewah" yang dihadiri oleh Menlu, kami bertiga duduk di meja yang sama. Baru saja duduk, Dr. Ali Ashghar sudah menepuk bahu GD.

"Gus Dur, saya sekarang resmi jadi anggota kelompok Abu Noodle. Tadi siang saya juga beli beberapa mie cup dan saya akan makan itu saja, kecuali ada makan gratis seperti malam ini, hehehe..."

Saya benar-benar terpesona dengan keakraban beliau berdua yang dalam keadaan apapun selalu tak melupakan humor. Malam itu GD diminta memberi sambutan utama dalam resepsi disusul oleh yang lain, termasuk Dr. Ali. Beliau bilang sama saya "Indonesia sangat beruntung punya GD." Saya jawab, "India juga sangat beruntung punya anda, Dr. Ali."

Selama tiga hari saya dan GD runtang-runtung dengan Dr. Ali di Jepang. Di samping hadir dalam acara seminar, kami juga bepergian ke Kyoto. Saya belajar banyak mengenai pemikiran mereka berdua dalam kesempatan itu. GD sangat menghormati dan cocok sekali dengan pemikiran progresif Dr. Asghar sehingga sering dalam pidato dan seminar pendapatnya dikutip. Dr Asghar juga sering diundang ke Jakarta dan bahkan karya-karyanya diterjemahkan dan diterbitkan oleh para cendekiawan muda NU. GD bukan hanya merasa pas dengan pikiran Dr Ali Asghar, tapi juga pas dengan gayanya yang seadanya, eksentrik dan humoris.

Benarlah kata Kitab Ta'lim, bahwa teman bergaul adalah cerminan pribadi seseorang. Beberapa sahabat akrab GD yang saya tahu juga mirip Dr. Ali Asghar, semisal Romo Mangunwidjaya (alm), Acan Sulak Siwaraksa (cendekiawan Budhis, Thailand), dan Ibu Gedong (alm) dari Bali, untuk menyebut beberapa nama. Beliau-beliau adalah para cendekiawan paripurna yang memandang dunia dengan ringan, riang gembira dan penuh cinta.

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (14)
MIDNIGHT PRAYER

Sepi telah sempurna memeluk malam
Detak jam dinding satu satu tenggelam
Gelisah gerimis pada daun, pada kolam
Kusiapkan ruhku bersimpuh di Multazam

Ya Ilahi
Kau pasti mendengar doa ini
Dari jiwa dan hati tercengkam sangsai
Tiarap dalam kerendahan azali

Telah Kau panggil seorang kekasihMu
Saat manusia resah dan termangu
Saat hembusan fitnah makin menggebu
Menggerus nurani menghablur kalbu

Jutaan wajah kini terlihat murung
Jiwa-jiwa mereka resah, terkurung
Mata mereka, Gusti, nanar dan suwung
Kehilangan keteladanan dan ahlaq agung

KekasihMu adalah lilin nan gemilang
Nyinarkan benderang sampai hilang
Kini gelap mengendap datang
Di negeriku, Gusti, yang dirundung malang

Maka jika tanpa kersaMU, Gusti
Pasti kami makin tak punya arti
Maka berikan kami sejuta pengganti
KekasihMu yang jadi penyejuk hati

Berikanlah kekuatan dan keuletan
Mengikuti semua suri dan tauladan
Memperbaiki kealpaan dan kesalahan
Karena itu adalah sifat kemanusiaan

Dalam sunyi kusebut asmaMu
Dalam diam kupasrahkan rinduku
Dalam khusyu' kunaikkan doaku
Dalam harap kunantikan qadla dan qadarMu

Amin... KENANGANKU DENGAN GUS DUR (15)

Saya di gerbang Universitas Georgetown di Washington, DC. beberapa minggu lalu.
Seperti sudah umum diketahui, NU memiliki mitra tetapi sekaligus "pesaing" berat dalam gerakan Islam di negeri ini, yaitu Muhammadiyah. Dalam wacana keilmuan sosial dan politik semenjak lama dua ormas Islam itu selalu digambarkan dalam posisi biner (binary situation) dan dikotomis, yang satu merupakan anti-tesis dari yang lain. Untuk jangka waktu yang lama, para ahli masalah keislaman Indonesia (dalam maupun luar negeri) cenderung memandang bahwa dinamika gerakan Islam di Nusantara adalah resultante dialektis antar kedua ormas ini pada ranah-ranah teologis dan paradigma pemahaman keagamaan. Hal ini pada gilirannya memiliki implikasi luas dalam kehidupan sosial, ekonomi, hukum, dan politik ummat dan juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan. NU kemudian diberi label sebagai pendukung tradisionalisme Islam, ortodoksi dan kemapanan, atau bahkan kemandegan, bid'ah dan kemunduran bagi para pengeritiknya. Sementara Muhammadiyah diberi julukan sebagai kaum Islam modern, pembaharu, kelompok maju, dst. Bagi kaum nahdliyyin, sebaliknya NU lah yang menjadi "standard bearer" Islam yang "murni," penjaga doktrin Ahlussunnah wal Jamaah dan khazanah peradaban Islam yang paling sah sanadnya, sementara lawannya adalh pengikut Wahabisme dan kelompok sempalan dalam Islam yang tidak memiliki otentisitas genealogis, dsb.

Walhasil, dalam sejarah perkembangan NU dan Muhammadiyah, perbedaan mazhab dan pemahaman serta praksis keberagamaan tersebut telah menciptakan berbagai dinamika dalam kehidupan ummat Islam Indonesia yang, sayangnya, tidak selalu harmonis. Apalagi jika politik telah ikut masuk ke dalam proses tersebut, seperti munculnya Masyumi dan NU sebagai dua parpol besar Islam yang bersaing pada tahun 50 an. Kendati Muhammadiyah tidak pernah menyatakan sebagai representasi Masyumi, bagi warga nahdhiyyin umumnya Masyumi sudah identik dengan kelompok Islam reformis. Karena Muhammadiyah juga reformis, maka sulit bagi awam warga NU membedakan keduanya! Upaya untuk "menjembatani" NU dan Muhamadiyah bukannya tidak dilakukan, bahkan dalam kehidupan riil, sejatinya tidak terlalu banyak terjadi konflik antara keduanya karena banyak keluarga yang isinya campur aduk, ya NU ya Muhammaiyah, alias Muhammad NU. Toh, bagi sebagian warga NU yang fanatik, sering soal Muhammadiyah ini bikin pusing dan kadang malah jadi sumber konflik.

Gus Dur pun tak lepas dari "conundrum" hubungan NU-Muhammadiyah ini. Memang pada tataran makro dan elit, urusannya tidak terlampau sulit karena pemahaman yang sudah lebih canggih. Tapi lain halnya dengan di tingkat grass-roots. Para pemimpin seperti GD harus bisa "nyrateni" dan "ngemong" ummat yang pemahamannya sederhana dan hitam-putih sambil terus menerus melakukan pencerahan, agar soliditas ummat bisa terjadi. Bagaimanapun juga jumlah warga NU dan Muhammadiyah di tingkat grassroots sangat signifikan, sehingga kalau di lapisan tersebut "ukhuwah" tidak jalan, maka percuma juga keberhasilan di tingkat atas. Permasalahan hubungan NU-Muhammadiyah di bawah inilah yang pernah GD ceritakan kepada saya. Walaupun kedengarannya lucu, tetapi dapat menjadi ilustrasi bahwa membangun ukhuwah itu ternbyata tidak segampang yang diomongkan orang!

Salah satu ikustrasi yang disampaikan GD adalah pengalamnnya ketika suatu hari datang ke salah satu kecamatan di Kab. Lamongan untuk memberi ceramah Maulid di sana. Nah begitu masuk ke kota kecil itu GD dan rombongan melihat ada spanduk ucapan selamat datang kepada KH Abdurrahman Wahid. Spanduk tersebut tertera nama Pengurus Anak Cabang Muhammadiyah di sana, dan memang Muhammadiyah merupakan ormas Islam yang kuat dan banyak pengikutnya, sebanding dengan warga NU. Malah karena fanatisme mereka, tak jarang terjadi konflik terbuka soal ibadah seperti shalat id di lapangan atau di Masjid, tarawih 23 raka'at atau 11 raka'at, dsb. Nah, karena itu GD rada kaget karena kok "tumben-tumbennya" ada spanduk selamat datang utk beliau dari warga Muhammadiyah. Maka sesampai di lokasi acara, GD bertanya kepada Ketua Panitia: "Kok ada spanduk dari Muhammadiyah menyambut saya?". Jawab si Panitia: "Wah nanti saya cari tahu Kyai.." sambil bergegas pergi..

Beberapa waktu emudian si Ketua Panitia (yang juga Ketua Banser) balik menemui GD sambil bilang:

"Lapor Kyai, sudah saya bereskan.."

"Lho.. bereskan apa?" Kata GD sambil rada kaget

"Ya itu tadi, soal spanduk selamat datang. Yang memasang sudah saya pukul dan minta menurunkannya." Kata si Ketua Banser dengan bangga.

" Sampeyan ini gimana sih. Lha kok malah main pukul segala?"

"Lho kan nggak sopan Kyai, masa Muhammadiyah memberi ucapan selamat datang kepada KH Abdurrahman Wahid. Kan Kyai ini Ketua Umum PBNU, jadi orang Muhammadiyah gak boleh ikut-ikutan menyambut!" Kata si Ketua Banser, polos.

"Masya Allah! Waduh sampeyan ini... Kan itu bentuk menghormati kita, kok malah sampeyan marah.." GD gak bisa melanjutkan kata-kata saking jengkel tapi juga merasa lucu.

"Wah gak bisa, Kyai.. " Kata sang Ketua Banser, masih ngeyel."Nanti bagaimana warga NU di sini kalau Muhammadiyah merasa ikut memiliki panjenengan? Jadi ya harus dihentikan!"

" Sudah..sudah, sampeyan saya perintahkan kembali kepada yang masang. Bilang Gus Dur minta maaf dan tolong dipasang lagi spanduk itu. Jangan mbantah lagi, ya!" akhirnya GD memutuskan.

Maka ngeloyorlah si Ketua Panitia Maulid, sambil tetap tak habis pikir kenapa GD kok malah baik sama Muhammadiyah!

Moral cerita itu adalah bahwa hubungan dua ormas Islam di tingkat grass-roots ternyata memiliki dinamika dan kerumitannya sendiri. Hubungan tersebut tidak hanya pada tataran organisasi, tetapi juga sudah masuk ke ranah teologis dan kultural sehingga ke NUan dan ke Muhammadiyahan sudah menjadi semacam identitas yang membedakan kedua warga secara kategoris. Akibatnya, perbedaan merke bukan hanya soal organisasi, tetapi juga merasuk pada urusan-urusan lebih dalam. Walhasil, hubungan NU-Muhammadiyah jadi mirip dengan hubungan antar-ummat beragama! Kalau sudah seperti ini, maka untuk membangun "ukhuwah Islamiyah" ditingkat grass roots memang menjadi pekerjaan yang tidak sederhana, dan memerlukan kehati-hatian serta ketelatenan yang besar.

Itulah sebabnya, GD mengatakan pada saya, kenapa beliau harus sering turun ke bawah dan bicara langsung kepada warga NU di bawah dengan bahasa mereka dan cara mereka, agar supaya tidak terjadi distorsi komunikasi. Hubungan NU-Muhammadiyah yang harmonis sangat penting bagi gerakan islam di negeri ini, karena mereka adalah pilar utama bagi kebesaran bangsa. Tetapi hal tersebut tidak hanya bisa diwacanakan saja, namun perlu kerja keras!

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (16)
Bukan Gus Dur namanya kalau tidak bisa membuat satir terhadap suatu hal yang serius dan "elitis". Bahkan terhadap suatu hal yang oleh kaum post-modernis suka disebut "meta-narratives" atau "grand narratives", atau narasi-narasi besar. Kendati beliau tidak pernah menyebut dirinya pengikut aliran post- modernisme, baik dalam seni, filosofi, maupun keilmuan, tapi gaya Gus Dur dalam berwacana dan berkiprah sungguh sangat mirip dengan aliran tersebut. Bukankah dedengkot post-modernisme, Francois Lyotard, dalam buku kondangnya La Condition postmoderne, mendefinisikan post-modernisme sebagai "incredulity towards metanarratives?" alias keraguan terhadap narasi-narasi besar? Para post-modernis senantiasa bersikap kritis, bahkan kadang sinis, dan menertawai apa yang menjadi klaim narasi-narasi besar yang seolah-olah telah baku, permanen, dan tak tergoyahkan, melalui satire, "plesetan", permainan kata-kata, dan bahkan dekonstruksi.

Kadang GD memang rada "kelewatan" dalam urusan yang satu ini, seperti ketika beliau didukani para Kyai rame-reme di Muktamar Krapyak (1989) gara-gara bilang "assalamu'alaikum" bisa diganti dengan ucapan "selamat pagi". Bagi mereka yang paham dengan kultur Arab, barangkali tak terlalu bermasalah benar, tetapi bagi orang awam soal ini lantas dipandang sebagai pelecehan terhadap tradisi Islam, karena ucapan tersebut sudah menjadi bagian integral dalam sistem yang memiliki pangkat "sakral" sebagai penanda kemusliman, bahkan kesalehan, serta simbol ukhuwwah Islamiah! GD pun lantas "dipaksa" untuk menarik kembali gagasannya itu dan memang beliau juga tampaknya tidak terlalu "ngeyel" (walaupun pendirian beliau secara pribadi tetap saja sepanjang hidup). Keberanian GD dalam menantang kemapanan narasi besar inilah yang mungkin belum tertandingi, sehingga perbuatan seperti meminta maaf terhadap para keluarga PKI atas nama Ketua PBNU, mengakui Konghucu sebagai agama dan Imlek sebagai hari libur nasional, dan melakukan pembelaan terhadap kelompok Ahmadiyah, dsb. sampai kini tetap mengundang decak kagum baik dari kawan maupun lawan.

Saya termasuk yang memiliki kenangan tersendiri mengenai bagaimana GD melakukan kritik terhadap apa yang beliau sering sebut sebagai gejala "islamisasi" terhadap semua hal, seolah-olah kalau belum "Islami" belum sah. Misalnya islamisasi ilmu pengetahuan. GD termasuk sangat tidak sepakat dengan yang satu ini, karena bagi beliau hal itu hanya semacam ekspressi kurang pede dan ingin tapil beda aja. "Yang namanya matematika, ya matematika titik. Gak ada matematika Islam, fisika Islam, kimia Islam.." begitu kata beliau. Tapi pengalaman saya dengan GD ini bukan soal ilmu, tapi teori dan konsep gerakan sosial dan politik. Saya pada awal sembilanpuluhan sedang getol-getolnya melakukan kajian tentang "civil society" dan gerakan demokratisasi yang dilandasi oleh konsep tersebut. Kalangan Islam modernis, seperti Cak Nur (almaghfurlah) dkk, pun tak ketinggalan ingin membuat "islamisasi" konsep tersebut dengan mengganti nama dengan "masyarakat Madani", mengambil istilah Ibn Khaldun yang membedakan antara komunitas "madani" (perkotaan) dengan " badawi" (dusun, desa), di mana yang pertama lebih maju dan beradab ketimbang yang kedua. Maka jadilah dua konsep yang satu kedengaran "Barat" (civil society) dan yang satu "Islami" (masyarakat Madani) berkembang di negeri kita. Bagi saya konsep Cak Nur dkk sangat berbeda secara fundamental dengan yang saya pakai dan karenanya tak dapat dipertukarkan. Tapi ya biarkan saja bertumbuh dan berkembang. Toh padaakhirnya kalangan cendekiawan, ilmuan, dan publik juga yang menilai mana yang relevan dengan realitas kita.

GD tentu saja cenderung kepada konsep "civil society karena memang NU pada waktu itu memilih jalan perjuangan ala Vaclav Havel dkk yang memakai gerakan civil society untuk menumbangkan rezim totaliter komunis. Di negeri kita yang mempelopori gerakan reformasi melawan rezim otoriter Orba adalh antara lain NU yang ketika itu dipimpin Gus Dur. NU sebagai ormas dan gerakan Islam menjadi kekuatan utama melawan hegemoni Negara bersama organisasi civil society lainnya seperti LSM, kelompok lintas-agama, mahasiswa, aktivis pro demokrasi dll. Konsep reformasi berbasis civil society, alhamdulillah, berkembang sampai sekarang karena diteruskan oleh para ilmuan sosial, aktivis, mahasiswa, kaum professional, media, dsb. Istilah civil society, yang waktu itu belum ada padanan yang pas, kini kadang diganti dengan istilah "masyarakat sipil", yang saya pikir jauh lebih pas ketimbang "masyarakat Madani" itu. Konsep Cak Nur dkk, lebih bernuansa seperti konsep "masyarakat ideal" (al-madinatul fadhilah) ketimbang sebuah kategori sosiologis masyarakat modern yang lengkap dengan segala kontradiksi internalnya sebagaimana dalam konsep "masyarakat sipil" (civil society).

Nah, GD ternyata punya plesetan soal istilah masyarakat Madani ini. Konon, kata GD, ada dua Kyai di Pasuruan sedang bincang-bincang santai di pondok. Sebutlah satunya bernama Kyai Hamid (KH), yang satunya Kyai Anwar (KA). Dalam obrolan santai itu ada dialog seperti berikut:

KH : "Saya heran dan prihatin, Yai, akhir-akhir ini para ulama kita kok sering gegeran, beda pendapat, bersuara keras saling serang di muka umum.. Ini ada apa ya Yai?"

KA: "Lho, kan memang sudah diprogramkan begitu Yai. Jadi sudah cocok dengan programnya pemerintah."

KH: "Ah masak ada cerita begitu.. Lalu program apa itu, Yai Anwar?"

KA: "Masak sampeyan belum dengar.. Itu lho program masyarakat Madani.."

KH: "Lalu yak apa program itu kira-kira bagaimana bentuknya?"

KA: "Ya Kyai-kyai dan ulama disuruh saling madani satu sama lain. Makanya cekcok terus gak selesai-selesai..."

KH : "Ooo ada program begitu ya... masyarakat madani.. pantess.."

Bagi anda yang bukan orang Jawa (Timur) pasti tanya: apanya yang lucu? Kalau anda orang Jawa (Timur), tentu tahu kata"madani" itu artinya "menjelek-jelekkan", dari asal kata "modo" (menjelekkan). Jadi masyarakat madani artinya masyarakat yang saling menjelekkan, karena itu para kyai pun saling menjelek-jelekkan satu sama lain...

Guyonan GD adalah soal "masyarakat madani" ini bagi saya bukan sekedar plesetan dan permainan kata, tetapi punya makna yang serius. GD sedang menertawai upaya "islamisasi" terhadap sebuah konsep yang sudah mapan, universal dan sangat relevan dengan gerakan masyarakat di Indonesia, hanya karena asalnya dari "Barat" (civil society), maka dianggap kurang "halal". Maka dicari-carilah upaya "pengislaman" oleh kelompok modernis Muslim seperti Cak Nur (almaghfurlah) dkk supaya dapat dilacak jalur genealoginya dalam sejarah Islam (di Malaysia, dipakai istilah "masyarakat hadhori" oleh Abdullah Badawi, mantan PM Malaysia). Bagi GD, upaya seperti itu tak kurang dan tak lebih adalah apologetika yang sering menjadi sindroma kaum modernis Muslim. Ada semacam rasa kurang pede kalau sebuah konsep tidak ditemukan "padanannya" dalam Islam atau sejarah Islam. Bukankah Islam itu "ya'luu walaa yu'laa 'alaihi?"

Saya memang tak pernah mendengar GD memakai istilah "masyarakat madani" dalam tulisan, pidato, ceramah, maupun wacana dan kiprah politiknya. Beliau konsisten memakai istilah "civil society" atau "masyarakat sipil" sebagai padanan. Mungkin saya salah, tapi bagi saya, guyonan GD adalah kritik tajam terhadap narasi besar yang didengungkan oleh sementara tokoh Muslim: yaitu proyek Islamisasi. Bukan saja dalam soal pengetahuan, tetapi juga masyarakat Indonesia, budaya Indonesia, dan tentu politik Indonesia... Bagi GD, Islam adalah komplementer bagi proses keindonesiaan, salah satu dari sekian banyak mozaik yang turut andil dalam proses menjadi Indonesia.

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (17)

Paul Wolfowitz and me at the AEI Office, January 2010
Pelajaran yang termasuk paling sulit dari Gus Dur kepada saya (mungkin juga bagi seluruh warga NU dan sebagian terbesar bangsa Indonesia) adalah: berteman dengan pihak yang tak sependapat dengan - atau malah memusuhi- kita. Tampaknya hal ini sederhana saja, apalagi kalau cuma diomongkan, diseminarkan, dikhotbahkan, dan ditulis. Yang sulit adalah ketika dipraktikkan. Secara konsisten lagi. Bukan saja mempraktikkan kata "cintailah musuhmu" adalah kerja keras pribadi, tetapi juga punya dampak kepada yang lain. Bahkan bisa jadi gara-gara melaksanakan kata-kata tersebut secara konsisiten, seseorang bisa minimal "dicurigai" dan maksimal berpotensi "dimusuhi" oleh seantero negeri. Apalagi kalau sudah ada sentimen primordial seperti agama, ras, etnik, dan gender serta "dibumbui" politik! Gus Dur adalah contoh sikap mencintai dan menjadikan teman pihak-pihak yang berbeda pendapat par excellent. Sampai saya pun yang sudah mencoba "memahami" kadang-kadang tidak tahan untuk tidak "protes" : "Gus, gus.. wong orang kayak gitu kok masih diakrabi terus..". Begtu omelan saya kalau sudah sendirian bersama beliau. Jawaban GD juga konsisten: "Sampean tenang saja, gak perlu khawatir Kang.."

Saya tidak tahu ada berapa manusia di negeri kita yang kawannya begitu bervariasi seperti almaghfurlah: ada yang non-Muslim (dari segala macam agama dan kepercayaan), ateis, LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender), agnostis, paranormal, pemberontak, komunis, jendral, pokoknya sebut saja, pasti GD punya kenalan di sana. Apalagi kalau cuma kawan yang berbeda aliran politik atau gerakan politik. Meskipun GD bertentangan secara keimanan, ideologis, strategis, atau apapun, beliau bisa saja bersahabat tanpa pura-pura. Bukan berarti beliau tanpa reserve atau menjadi relativis, tetapi memang benar-benar menjadikan mereka kawan setidaknya untuk memperluas cakrawala dan menjadi pengontrol diri dari kecenderungan arogansi dan monopoli kebenaran. Itulah sebabnya GD juga harus menanggung resiko digunjing dan dituduh: sebagai sosialis Ba'athist, antek Yahudi, pengikut Moonisme, pelindung PKI, sampai dengan dianggap Kafir atau mendekati Kafir (na'udzubillah). Padahal, justru dengan perkawanan yang universal ini, ternyata bukan saja GD dikenal di seantero jagad, tetapi lebih mudah memperjuangkan aspirasi ummat, warga nahdliyyin, dan bangsa pada setting apapun!

Salah satu episode yang saya saksikan sendiri dan berbekas mendalam ketika dalam sebuah seminar di Masjid Sunda Kelapa sekitar th 1998 GD dikritik Pak Yusril Ihza Mahendra (YIM) soal kedekatan beliau dengan kelompok non Muslim, khususnya ummat Kristiani. YIM mengatakan, sambil mengutip ayat Qur'an yang berbunyi "Muhammadun Rasulullah. Walladzina ma'ahu asyiddaa u 'alal kuffaari ruhamaa u bainahum.." (Muhammad adalah Rasul Allah, dan bersama beliau adalah orang yang (bersikap) keras/tegas terhadap orang-orang Kafir, tetapi (bersikap) ramah tamah/ kasih sayang di antara sesama (Muslim)..". Menurut YIM, Gus Dur tidak mengikuti ayat ini karena justru beliau terbalik "ramah tamah dengan orang non Muslim, dan sering mengeritik keras terhadap sesama Muslim.." Gus Dur menjawab dengan santai seperti biasa: "Saudara Yusril perlu mengaji lebih dulu sebelum memberi tafsir Qur'an dengan benar. Tegas di dalam ayat ini berarti tegas dalam soal keimanan, bukan soal pergaulan. Kita sebagai Muslim (apalagi dalam kondisi mayoritas) tentu harus tetap ramah dan melindungi terhadap orang non Muslim yang minoritas. Kalau saya sering bersikap kritis terhadap sesama gerakan Islam di Indonesia, ya karena dalam semangat "tawashou bil haq". Memberikan pembelajaran internal, memang beda dengan pembelajaran keluar. Justru "ruhamaa" atau kasih sayang itu saya ekspressikan dengan cara kritik. Kadang-kadang terdengar keras, tetapi saya tak memonopoli kebenaran seperti kebanyakan ormas atau tokoh-tokoh Islam lainnya.."

Jadi, bagi GD kalau soal iman maka sebagai sorang pemeluk teguh (istilah penyair Chairil Anwar), beliau tidak ada kompromi mengenai kebenaran keyakinannya. Tetapi dalam soal "hablun minannas" atau bergaul dengan sesama manusia, apalagi sesama anak bangsa, para pemilik sah negeri ini, GD tidak mau membedakan antara Muslim dan non-Muslim. Bahkan juga demikian dalam pergaulan antar-bangsa, GD bisa menjalin pertemanan dengan siapapun kendati berlainan keyakina, ras, etnik, bahasa, atau gender. Humanitarianisme GD adalah dalam prilaku konkret dengan segala macam resikonya. Biasanya, orang hanya mau enaknya saja kalau bersikap baik dengan semua orang, pada hal resiko juga bisa sanbgat serius. Ketika GD menjadi salah satu pendiri Yayasan Perdamaian Shimon Peres di Israel, ributlah semua orang dan beliau pun jadi sasaran "hujatan" dari sebagian tokoh dan ummat Islam di negerinya sendiri. GD sadar sepenuhnya akan resiko tersebut. Tetapi kalau tidak ada yang mau mengambil sikap begitu, mana mungkin negeri ini mampu melakukan dialog dengan lawan yaitu Israel. Apakah kemudian kita mau ngotot tidak mau bicara, sementara kondisi riil politik global menunjukkan perjuangan Palestina mentok gara-gara negara Islam seperti Indonesia tidak mampu melakukan terobosan kreatif dan produktif. Orang boleh tak sepakat dengan strategi GD, tetapi negara-negara seperti Mesir, Lebanon, Qatar, dan bahkan Hamas sendiri saat ini mulai melihat pentingnya dialog dengan musuh mereka. Sama juga Israel akan terperangkap dalam lingkaran kekerasan jika keukeuh dengan sikap keras dan kebijakan mirip apartheid itu.

Saya memang belum sampai kepada "maqom" setinggi GD dan sering bertanya kepada beliau soal perkawanan ini. Misalnya, GD kok masih juga berteman dengan mereka yang sudah "haqqul yaqin" ikut rombongan dan bahkan pelopor dalam menjatuhkan beliau sebagai Presiden, misalnya. GD menjawab: "Halah, wong gitu aja kok dipikir. nanti merkea itu kan pada kena sendiri-sendiri. Rakyat dan sejarah ada di pihak saya, Kang.. Mungkin sekarang kelihatanna saya dikalahkan, tapi belum tentu sepuluh tahun, duapuluh tahun, seabad lagi.." Bagi saya yang masih manusia biasa ini, memang ada yang disebut lawan dan kawan yang harus diwaspadai, khususnya dalam politik. Tapi, ya itu tadi.. saya kan manusia "biasa", sementara GD adalah Insya Allah seorang manusia besar dengan karakter dan jiwa "waliyullah."

Yang bisa saya lakukan hanyalah mencoba mengikuti jejak beliau dengan tetap mengontak sebagian sahabat dekat GD yang berbeda pandangan politik, namun bersama dalam persahabatan. Seperti dengan Paul Wolfowitz, mantan Wakil Menhan AS di bawah Presiden Bush Junior dan mantan Dubes AS di Indonesia zaman Orba dulu. Pak Wolfowitz memang dikenal sebagai penganut neoconservatif dan salah satu "arsitek" perang Irak. Saya mungkin punya perbedaan pandangan dengan beliau mengenai masalah strategi politik global AS. Tapi setidaknya kami berdua memiliki kesamaan, yaitu bersahabat dengan GD secara tulus. Paul sering bertemu dan berkunjung ke tempat GD , begitu juga sebaliknya. Mereka memperbincangkan masalah strategis, termasuk kebijakan politik AS di Asia dan dunia, demikian juga tentang Islam. Paul adalah seorang Yahudi dan kini sedang serius melakukan kajian tentang Islam, bukan sebagai kekuatan politik, tetapi sebagai sebuah ajaran. Kedekatannya dengan GD membuatnya lebih paham mengenai kompleksitas Islam dan gerakan Islam di dunia. Beliau juga menulis tentang Gus Dur di Wall Street Journal saat Gd wafat. judulnya "Wahid and the Voice of Moderate Islam." (Wahid dan Suara Islam Moderat), sebuah kenang-kenangan dan pujian terhadap ketokohan GD.

Kendati masih sangat kurang, setidaknya gagasan berteman dengan pihak yang tak sependapat dengan saya, akan terus saya upayakan. Karena inilah pelajaran dati beliau kepada saya yang memang termasuk paling sulit...

Tidak ada komentar: