27 Agustus 2010

GU DUR EORANG WALI
Gus Dur adalah politikus, budayawan, negarawan dan agamawan sekaligus seorang Wali. Gus Dur sering masuk pada ranah sufistik berdimensi mistik. Gus Dur pun lalu dianggap waliyulloh. Bahkan, kini mulai terhembus kiasan baru yang menyatakan sepak terjang Gus Dur seperti Nabi Kidhir.

Namun demikian, Gus Dur tetaplah Gus Dur. Tak ambil pusing dengan segala penilaian orang. Anggapan yang menyatakan dirinya adalah seorang wali tak membuatnya lalu bersikap alim dan melunak. Gus Dur tetap kontroversial. Menggebrak segala pernatan formal yang dianggap perlu dilakukan. Gus Dur tak peduli apa kata orang. Alhasil, banyak para tokoh bangsa ini kebingungan.

Gus Dur bagaikan sosok waskita yang berada jauh dari jangkauan nalar orang saat ini. Berada dalam alam kemakrifatan dan sufistik. Tetapi, ada pula yang sekedar menganggapnya sebagai biang kerusuhan. Tokoh yang banyak memiliki kasus hukum. Tokoh gendheng yang merusak tata nilai kehidupan. Anehnya, semua penilaian buruk itu tetap membuat Gus Dur disegani. Bahkan, membuat Gus Dur semakin tak tersentuh. Membawa Gus Dur pada sebuah realitas ambigu yang tak bisa dikupas hanya dengan intelektualitas.

Lantas, apa sebenarnya rahasia di balik segala sikap kontroversial Gus Dur? Benarkah, Gus Dur adalah rahasia keempat milik Tuhan seperti yang pernah dinyatakan oleh Cak Nur? Bisakah Gus Dur dipahami secara wajar dalam koridor kemanusiaan biasa dari seorang tokoh pembaharu?

Gus Dur senantiasa tampil dan beraksi berdasar apa yang diyakini benar. Tak peduli kata orang. Melawan arus dan pakem tanpa beban. Seperti Nabi Kidhir yang menyuruh Musa untuk melubangi kapal agar tenggelam. Menyuruh Musa membunuh bayi yang kelak jika dewasa justru akan durhaka kepada orangtuanya. Menyuruh memperbaiki rumah di mana seluruh penghuninya memusuhinya.

Tanpa alasan dan tak boleh bertanya, Musa menghadapi keanehan Nabi Khidir itu. Baru sesudah berakhir perjalanan menyusuri Laut Merah, Musa diberikan jawabannya. Semua itu adalah perintah Alloh. Kapal yang ditenggelamkan itu agar jangan dirompak. Bayi yang dibunuh itu kelak juga akan lahir lagi bayi dari orangtuanya yang menjadi anak soleh. Rumah musuh yang diperbaikinya itu menyimpan harta karun milik anak yatim piatu.

Kisah Nabi Kidhir itu seperti menyiratkan pesan, semua tindakan berdasar keyakinan pada Alloh tak perlu dipertanyakan. Tetapi, Nabi Kidhir melakukannya dengan kemampuan seorang Nabi, yang mengetahui benar segala maksud dan tujuannya. Dengan kata lain (sekedar memudahkan pengertian), mirip dengan kata orang Jawa, ngerti sakdurunge winarah. Bukankah seperti itu pula yang dilakukan Gus Dur? Mendobrak tata nilai tanpa memberikan verbalitas jawaban di awal perbuatan, dan selalu menemukan kebenaran atau pembenaran di akhir perkara?

Tidak ada komentar: